28. Perasaan Naura

2.6K 460 54
                                    

"Lagian, lo juga sih. Udah tau Arkan cinta banget sama Naura, masih aja mau deketin tuh cewek." Ade, salah satu orang yang menolong Salman dan mengajaknya untuk duduk bersama mereka berucap.

Salman menatap meja yang ditempati oleh Rehan, Gilang dan juga Selvi. "Naura yang kecentilan sama gue," bela Salman sinis. "Minta gue datang kesini, eh pas datang malah ditonjok sama Arkan," sambung Salman geram.

"Yaelah, harusnya lo kasih batasan dong. Naura cuma jadiin elo pelampiasan doang, yakali dah dia naksir sama lo. Secara, Arkan punya segalanya, anak orang kaya. Cewek mana yang nggak mau sama dia, Naura mah sok jual mahal," timbrung Rafi atas ucapan Salman.

Ade mengangguk atas ucapan salah satu temannya. Ia pun menawari Salman rokok sebagai tanda pertemanan mereka.

Arkan dan Naura, dua remaja itu masih berada ditepi tebing. Naura sudah berada didalam mobil sementara Arkan duduk di kap depan mobil menatap lurus kedepan. Pemuda itu mengusap wajahnya kasar atas kejadian-kejadian aneh yang menimpanya beberapa hari terakhir. Mulai dari kehilangan kesadaran secara tiba-tiba, suara-suara yang terus terdengar dikepalanya.

"Arkan."

Arkan menoleh pada Naura yang ternyata sudah duduk disampingnya.

"Gue nggak tau, gue kenapa. Ayah bilang gue cuma kecapean, tapi ini beda Nau." Arkan berucap pasrah.

"Gue nyakitin lo?" tanya Arkan membuat Naura menggeleng pelan.

"Kita cari jalan keluarnya sama-sama, jangan terlalu dipikirin," balas Naura.

Arkan mengangkat tangannya mengusap pucuk kepala gadis itu hingga membuat Naura merasakan hal tidak biasa pada dirinya.

"Ekhem!" Naura berdehem menoleh kearah lain, seketika Arkan langsung menjauhkan tangannya.

"Gue nggak tau ada tempat sebagus ini," ucap Naura mengalihkan pembicaraan.

"Gue juga," balas Arkan singkat.

"Lo suka?" tanya Arkan menatap Naura dari samping, gadis itu mengangguk lalu memejamkan matanya menikmati semilir angin malam.

Chup...

Naura membuka matanya cepat saat merasakan sesuatu menyentuh pipinya. Ia menoleh pada Arkan yang nampak sibuk menghitung bintang dilangit. Naura tersenyum tipis lalu menyenderkan kepalanya pada bahu Arkan.

Duduk di kap mobil yang terletak ditepi tebing, menikmati malam sunyi yang hanya ditemani oleh gemerlap lampu malam kota. Naura suka ini, bahkan jika ia boleh memilih, ia ingin selamanya begini, tenang tak ada racauan dari sang ibu, tak ada suara tinggi dari sang ayah yang marah pada ibunya.

Yang Naura butuhkan adalah, ketenangan dan kasih sayang. Ia sudah mendapatkan kepintaran disekolah dan mungkin namanya cukup dikenal, ditambah lagi tentang bagaimana cara Arkan mengejarnya untuk mendapatkan cinta. Satu kesalahan Naura adalah, tidak menerima Arkan.

"Nau, kalau nanti kita nggak jodoh gimana ya?"

Naura membuka matanya, menatap kosong kedepan.

"Gue nggak peduli," balas Naura membuat Arkan sedikit tertegun. Tak ingin beradu argumen lagi, Arkan memutuskan untuk diam menahan rasa sakit atas kalimat yang baru saja Naura lontarkan.

"Kita jodoh atau enggak, yang pasti gue mau kita kayak gini terus."

Sambung Naura dalam hati atas kalimatnya barusan. Jadi maunya Naura, apa?

"Aw!" Naura menepuk tangannya.

"Nyamuk? Yuk masuk mobil! Kita pulang, udah malam banget." Arkan bangkit dari duduknya lalu bergegas masuk ke mobil. Naura pun mengikut saja. Mobil pun pergi meninggalkan tempat tersebut, tempat dimana Naura mengakui perasaannya meskipun hanya ia sendiri yang tahu.

Mobil Arkan tiba dipekarangan rumah Naura. Ia menatap rumah yang minim pencahayaan itu kemudian beralih menatap Naura.

"Nau," panggil Arkan saat Naura hendak turun. "Sebelum tidur, jangan nangis ya." Arkan tersenyum yang hanya dibalas anggukan oleh Naura.

Naura turun dari mobil, lalu Arkan menurunkan kacanya guna memastikan gadis itu masuk kerumah sesegera mungkin. Arkan pun pergi setelah pintu rumah tertutup untuknya.

Pemuda itu pulang kerumah, ternyata di ruang tamu kedua orang tuanya sudah menunggu.

"Hai," sapa Arkan canggung.

"Arkan, duduk." Alan memerintah, Arkan pun menghampiri meski ia sudah merasa ngantuk dan lelah luar biasa.

"Habis dari mana?" tanya Alan dingin.

"Main," jawab Arkan seadanya.

"Kok enggak ngajak, Bunda!?" Alin berkacak pinggang. Arkan pun cengengesan lalu menghampiri ibunya itu.

"Bunda 'kan udah sering main sama Ayah, iya nggak?" tanya Arkan jahil menatap sang ayah yang langsung mengalihkan pandangannya.

"Enggak! Bunda lebih sering main sama kucing!" elak Alin.

"Nah! Berarti yang salah siapa?" tanya Arkan cepat.

"Ayah!" tunjuk Alin pada Alan.

"Lah kok--"

"Ayah yang salah karena nggak ngajak Bunda main!" potong Alin beralih menatap Alan yang memasang wajah bengong.

Arkan tertawa lalu berlari meninggalkan kedua orang tuanya. "Ayah, Bunda sering-sering main ya. Biar Arkan punya adek! Hahaha!!!" tawa Arkan menggema dirumah megah tersebut.

"Maksud Arkan gini loh..." Alan menadahkan tangannya pada Alin hingga membuat pusat perhatian isterinya itu tertuju padanya.

Plak!

Alan menempelkan telapak tangannya pada wajah Alin. "Jin mana pun yang merasuki isteri gue! Pergiii... Pergilah... Pergiii..."

Alan menjauhkan telapak tangannya dari wajah lugu Alin. "Hap! Ayah dapat jinnya!" Alan memperlihatkan kepalan tangannya pada Alin.

"Liat! Liat!" heboh Alin berusaha membuka kepalan tangan Alan.

"Ets! Nggak bisa diliat, soalnya..."

"Soalnya apa!? Apa!?" tanya Alin lagi.

Alan mendekatkan kedua tangannya pada wajah Alin kemudian mencubit gemas kedua pipi isterinya itu.

"Udah lepas! Yey!" Alan berbangga diri masih memainkan kedua pipi Alin.

"Yah... Bunda nggak liat!" ucap Alin sedih.

"Emang mau liat? Yaudah yuk kekamar sambil tiduran," ajak Alan menaik turunkan alisnya lalu bangkit dari duduk. Dengan tiba-tiba Alin melompat kepunggung Alan.

"Gendong!!!" teriak Alin heboh.

Alan pasrah.








TBC

Arkan X NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang