3° Expression

3.6K 491 44
                                    

"Hari ini aku mau nembak Aga."

Uhuk uhuk

Aku menepuk dadaku berulang kali gara-gara tersedak. Setelah pulih dari rasa terkejut, aku memelototinya diam-diam. Aku sedang minum, kenapa Retta harus membicarakan hal seperti ini? Membuatku kaget saja...

Karena dia akhirnya membahas tentang hal ini, berarti tidak lama lagi dia akan meninggal...

Aku diam-diam menatapnya kasihan. Sementara dia mulai membahas tentang rencananya dengan raut datar. Sesekali dia menjeda untuk memakan kue yang dibelinya tadi.

Melihat ekspresi datarnya, aku diam-diam mengalihkan pandangan.

Sebenarnya aku tadi tidak mau ke kantin bersamanya, tetapi dia memaksa dengan mengatakan bahwa dia ingin membicarakan hal yang penting.

"Aku mau kasih tahu Aga tentang perasaanku tiga hari lagi."

Aku menatap minumanku, tidak memandang Retta sama sekali. "Ehm... Rett, kamu segitunya suka Aga ya?"

Dia mengangguk pelan. "Iya...."

Aku berkata ragu, "Gimana kalau nggak usah nembak Aga--"

"Kenapa memangnya? Aku nggak cocok ya sama Aga?"

Aku menatap ke arah lain. "Bukan gitu--" cuma kalau kamu masih keras kepala mau nembak Aga, bukannya diterima, yang ada kamu bakal mati.

Dia tertawa. "Ha.. ha.. ha.. Kamu takut aku dibunuh sama Aga?"

Retta barusan tertawa?

Aku menahan diri agar tidak menyumpal mulutnya dengan bungkus kue yang tadi dia beli. Suara tertawanya benar-benar aneh ... seperti ada jeda.

Aku serius.

Dan dari perkataannya barusan, apa dia ... tahu pikiranku?

Aku menatapnya penasaran. Apa dia memiliki kemampuan membaca pikiran? Dengan cepat ku usir pemikiran tersebut. Lebih baik aku langsung bertanya, "Kamu bisa baca pikiran?"

Dia menggeleng. "Nggak. Tapi aku tahu, kalau aku udah mau mati."

Sambil menopang dagu, dia melanjutkan, "Aku bakal mati setelah nembak Aga."

"Gimana kamu bisa tahu?"

"Karena aku punya ingatan itu." Dia menunjuk kepalanya sendiri. Ekspresinya tenang, tidak terlihat ketakutan sedikitpun. "Takdir aku memang sudah diatur. Aku nggak bisa menghindar."

"Aku mutusin buat cerita tentang hal ini ke kamu karena aku merasa kamu bukan Jesna yang sebelumnya...."

Aku menunduk dalam, dan banyak pikiran yang muncul di benakku. Karena Retta sudah tahu  tentang kematiannya, berarti waktu yang kumasuki sekarang seharusnya adalah kehidupan lain Retta setelah novel yang kubaca. Tapi kenapa bisa seperti itu?

Dan kenapa dia tetap memutuskan menembak Aga? Seharusnya dia tidak melakukan hal itu...

Atau apakah dia tidak bisa menolak? Mungkinkah dia dikendalikan secara paksa agar mengikuti alur?

Suara kursi bergerak membuatku mengangkat pandangan. Tatapan Retta tertuju ke depan. "Aku pergi dulu. Aku perlu persiapan sebelum menghadapi kematian."

Aku berdiri dan menahannya. "Tunggu. Karena kamu udah tahu hasilnya, kenapa kamu masih milih buat nembak Aga?  Kenapa kamu ... nggak cari cara buat mengubah--"

"Aku nggak bisa menghindar," sela Retta, lalu merapikan kursinya. "Oh iya, Jesna...."

"Sebenarnya alasan aku ajak kamu ke kantin bukan cuma sekedar ngasih tahu tentang rencana aku untuk nembak Aga." Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Dibaca tapi ... hati-hati."

Aku mengambil kertas tersebut dan menyimpannya. "Hati-hati kenapa?"

"Jangan sampai ketahuan."

Aku menatapnya tak mengerti. "Ketahuan sama siapa?"

"Orang lain disekitar kamu."

Melihat ekspresi seriusnya, aku mengangguk. "Oke. Aku bakal hati-hati."

"Bagus. Sebelum aku pergi, aku mau ingatin, jangan terlalu dekat sama teman sekelas kita." Dia terdiam sejenak. "Ah, bukan hanya teman sekelas kita. Semuanya lebih baik kamu jauhin."

Setelah itu dia pergi dengan raut datar.

Aku terdiam...

Kenapa dia harus menggunakan ekspresi seperti itu lagi?

Semua murid di kantin ini juga memiliki ekspresi persis dengan Retta.

Apakah tidak masalah aku bebas berekspresi?

Atau aku harus mengikuti mereka?

Transmigrated Into a Novel [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang