Berantakan.
Benar-benar berantakan.
Aku merutuk dalam hati, dan berusaha mengabaikan semua tatapan datar yang mengarah kepadaku. Tanganku mengepal dan aku berusaha mengontrol ekspresi ku agar lebih tenang.
Walau masih penuh amarah, aku merapikan meja yang barusan tumbang. Namun, setelah beberapa kali aku mencobanya, keningku semakin berkerut. Meja ini benar-benar berat. Lalu, kenapa bisa semudah itu jatuh?
Aku dalam hati bersyukur karena tidak tertimpa meja ini. Tetapi tetap saja aku marah besar. Ini tidak terlihat seperti kesialan biasa tetapi seperti ada yang ingin membunuhku! Apalagi selain itu!? Meja seberat ini jatuh tanpa aku menyenggolnya? Tidak masuk akal!
Memikirkan perkataan Laef tadi entah kenapa aku malah bertanya-tanya apakah ini ulahnya? Tetapi, aku tidak begitu yakin.
Aku masih kesulitan mengangkat meja itu hingga seseorang membantuku.
Aku menatapnya kaget. Tetapi aku buru-buru berterimakasih.
"Makasih."
Tetapi yang membuatku kaget adalah dia mampu mengangkat meja itu!?
Apakah dia benar-benar manusia?
Orang yang kumaksud adalah Agathias.
Aku tidak menyangka dia akan membantuku. Walau setelah itu dia pergi dengan ekspresi datar...
Aku melirik meja di depan ku dan karena kesal aku menendangnya.
"Akh--! Sial!"
Aku melotot ke meja yang tak bergerak itu dan mengepalkan tangan. "Huh!" Setelah itu aku buru-buru pergi. Kakiku masih sedikit sakit.
Ketika sampai di kelas aku memikirkan kembali bagaimana Aga semudah itu mengangkat meja tadi. Jadi, karena belum bel masuk, aku ke kantin sekali lagi dan mencoba mengangkat meja itu sedikit.
Yang membuatku kaget adalah, aku benar-benar bisa mengangkatnya! Lalu kenapa tadi terasa berat?
"Sedang apa kamu disini?"
Aku menoleh ke belakang dan melihat dua orang mendekat. Yang menanyaiku adalah seorang guru, sementara disampingnya dokter Krivan.
Sial. Kenapa bisa ada dokter itu disini!?
Ini kan sekolah!
Aku berusaha menenangkan diri dan melirik dokter Krivan sekilas. Setelah itu aku menatap guru di depanku ini. "Enggak bu. Tadi uang saya ketinggalan." Uang apaan, Jesna udah melarat!
"Karena saya sudah mengambil uang saya yang ketinggalan, saya balik ke kelas ya, bu? Soalnya sebentar lagi sudah mau masuk, jadi saya takut telat."
Guru itu mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi kamu tolong arahkan dokter Krivan ke UKS sebentar ya. Ah, siapa nama kamu?" Matanya bergerak melirik ke tag namaku. Aku mundur selangkah melihat matanya melotot seperti mau keluar. "Oh, Jesna. Kamu kelas berapa?"
Keringatku menetes. Aku melirik ke arah lain. "K-kelas ...."
"Dia satu kelas sama saya, Bu." Jawaban lain terdengar dari belakangku. Tidak perlu menoleh aku tahu itu Laef.
"Oh. Baiklah. Laef, kamu infokan ke guru yang mengajar di kelas kalian selanjutnya, kalau Jesna sedang membantu ibu, jadi akan sedikit terlambat kembali ke kelas. Oke?"
"Iya bu," jawab Laef.
Setelah itu mereka pergi. Guru tadi buru-buru ke arah kantor, terlihat dari jauh begitu panik mencari sesuatu dari tasnya. "Huh, mata saya perih lagi. Dimana obat tetes mata saya?"
Sementara Laef, langkah kakinya terdengar menjauh.
Memikirkan hal itu aku baru teringat harus menjauh dari dokter Krivan. Aku buru-buru berbalik dan mau pergi tetapi kerah seragamku ditahan.
"Tunggu. Mau kemana kamu?"
"Itu, saya mau antar pak dokter ke UKS." Aku menunjuk ke suatu arah. Karena aku membelakanginya, aku diam-diam melotot.
"Pak dokter? Huh. Saya bukan dokter."
"Apa ...?"
"Anggap saja saya dokter gadungan kalau mau."
Apaan sih. Enggak jelas!
Dia melanjutkan, "Jadi jangan panggil saya pak dokter atau semacamnya. Saya ini mahasiswa!"
Aku tanpa sadar menepuk keningku. Apa dia gila? Aku tidak tahu! Tapi sepertinya dia memang gila.
"Apa kamu bisu?"
Aku berbalik. "Enggak. Kalau saya bisu darimana suara saya keluar?" tanyaku, memasang senyum palsu.
Dia mengangguk pelan dan berkata, "Kamu yang waktu itu di rumah sakit."
Kenapa tiba-tiba bahas tentang itu sih!
"Rumah sakit? Kebetulan, saya bisa lihat hantu. Jadi saya paling menghindari yang namanya rumah sakit," kataku pelan, menjelaskan dengan ekspresi serius.
Dia tertawa pelan. "Apa kamu pikir saya bodoh?"
Aku mengangguk dan ekspresinya berubah. Dia menatapku jengkel. "Saya tidak bodoh!"
Aku menatapnya heran. "Saya tidak bilang dokter Krivan bodoh."
"Tapi kamu mengangguk."
Aku menghela nafas. "Sebenarnya saya bukannya mengangguk, tapi leher saya mendadak pegal. Jadi saya hanya menggerak-gerakan leher saja. Tolong jangan tersinggung."
Dia masih terlihat jengkel. "Tidak perlu berbohong." Dia berjalan ke arah lain.
"Siapa yang berbohong?" tanyaku bingung, tanpa sadar mengikutinya. Aku diam-diam menunjuknya dari belakang dan mengepalkan tanganku ke arahnya.
Tetapi, dia tiba-tiba berbalik dan tanganku masih mengarah ke dia. Aku buru-buru melambaikan tanganku. "Ini sekolah kok banyak nyamuk ya?"
"Iya, kan?" tanyaku ke arahnya, dan buru-buru melihat ke arah lain. "Itu tuh, kan benaran banyak nyamuk. Pantasan tangan aku gatal-gatal tadi." Gatal pengen mukul kamu.
"Ikut saya."
Aku mengangguk dan mengikuti dokter Krivan dari belakang.
Ketika dia tidak melihatku, aku buru-buru mencari tempat untuk bersembunyi. Dia menyadari hal itu tidak lama setelahnya dan mencariku dengan eskpresi geram. Setelah memastikan dia benar-benar telah pergi, aku menghela nafas dan berjalan menuju kelas.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
"AH--SETAN!"
"Aku bukan setan."
Aku menepuk-nepuk dadaku. "I-iya. Kamu bukan setan." Tapi hantu. Kenapa juga sih Aga bisa tiba-tiba muncul disini?
Aku menoleh ke sekeliling untuk berjaga-jaga seandainya dokter Krivan tiba-tiba muncul lagi.
"Pergi ke dokter Krivan," kata Aga.
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrated Into a Novel [√]
Fantasy*DON'T DO ANY PLAGIARIZE!!!* [boleh lho, di follow dulu sebelum baca.] Zaman semakin berkembang dan berbagai macam teknologi baru muncul mengimbanginya. Penemuan baru di lab sekolahku membuat satu negara gempar. Mesin yang baru dibuat itu, dapat mem...