Namanya Cahaya Bintang Asghara, atau biasa dipanggil Bintang. Tapi orang rumah dan teman-temannya kerap memanggilnya Abin. Bintang, sih, sudah capek mengoreksi orang-orang untuk memanggil namanya dengan benar. Mau gimana lagi? Dari kecil bundanya sudah terbiasa memanggilnya dengan nama Abin. Soalnya, waktu belajar benda-benda langit Bintang suka bingung kenapa namanya sama dengan benda yang berkerlip di langit malam hari.
“Abinnn, buruan cuci sepatunya!”
Kakak perempuan Bintang sudah meneriaki Bintang di minggu pagi, waktu bagi Bintang untuk bermalas-malasan.
“Bintang,” gerutu Bintang membenarkan kakaknya yang sebenarnya sia-sia saja.
“Salah sendiri siapa yang dulu nangis waktu tahu namanya sama kayak bintang yang di langit?” ejek kakaknya.
“Ya itu kan duluuu,” protes Bintang, melempar guling pada kakaknya. “Lagian kenapa jadi nama aku yang diganti, sih? Bukan nama bintangnya?”
“Ih, protes mulu dasar!”
“Bundaaa, Kak Bulan usil!!” rengek Bintang.
Bundanya yang sudah terbiasa dengan keributan di rumah cuma bisa berteriak dari dapur karena ia masih sibuk memasak.
“Udah, Bulan jangan gangguin adeknya! Abin, cepet bawa sepatunya ke belakang terus dicuci.”
Akhirnya Bintang terpaksa bungkam lalu beranjak malas dari ranjangnya, melewati kakaknya yang masih sempat menjulurkan lidah padanya.
“Harusnya kakak dipanggil Abul, tau!” celetuk Bintang sebelum ia cepat-cepat kabur mengambil sepatunya yang kotor dan mencucinya di belakang.
ㅡ
Bintang termasuk manusia pagi. Jarang sekali ia terlambat masuk kuliah kecuali kalau dia sedang kehilangan sebelah kaos kakinya yang ternyata nyasar ke lemari kakaknya.Pagi itu saat Bintang baru saja menginjakkan kaki di lantai kelasnya, ia sudah dapat panggilan masuk dari temannya. Evan.
“Kenapa, Van?” tanya Bintang sambil menaruh tasnya di kursi. Ia lalu menjatuhkan dirinya di sana, merogoh susu kotak rasa stroberi dari kantong jaketnya.
“Bin, please banget bantuin gue! Darurat banget nih, asliii.”
Bintang menyedot susunya dengan kalem. “Apaan, sih?”
“Lo tau ada acara yang harus gue liput, kan?”
“He-eh. Kenapa?”
“Gantiin gue.”
“Hah!?” Kali ini Bintang menaruh susu kotaknya, mencoba mencerna kalimat Evan lebih teliti. “Emangnya lo kenapa?”
“Gue nggak bisa ke kampus sekarang, Binnn. Gue sakit perut. Bolak-balik ke toilet dari tadi. Tolong banget yaa gantiin gue dulu.”
Bintang menggaruk bagian belakang kepalanya. “Kapan acaranya?”
“Pagi ini.”
“GILA LO.” Bintang melebarkan matanya, sekarang ikut panik. “Gue ada kelas pagi??”
“Bolos dulu aja ya, ya, ya?? Gue bisa mampus dikeroyok anak-anak medif nanti kalo nggak ngeliput acara ini. Pokoknya nanti gue kirimin ID gue sama daftar pertanyaan yang udah gue siapin. Sama gue kasih info ketua panitia yang kudu lo temuin buat diwawancara, oke? Hari ini aja lo jadi Evan dulu. Oke byeee, sayang Abin!!”
Sambungan diputus.
Lima menit kemudian masuk pesan dari Evan yang isinya adalah foto kartu identitas Evan beserta daftar pertanyaan. Terakhir adalah identitas narasumber yang harus Bintang temui.
“Hih, Evannn!” Bintang rasanya ingin menangis saat itu juga.
ㅡ
Acara yang dimaksud adalah acara dari Fakultas Teknik yang diselenggarakan tepat di samping gedung fakultas Bintang. Jadi Bintang tidak perlu repot berjalan kaki jauh atau harus naik bus kampus untuk sampai di sana. Dari kejauhan sudah terlihat banyak orang yang berkerumun di sekitar lokasi acara, membuat Bintang lagi-lagi harus menahan langkahnya untuk mengatur napas.
Gakpapa, Bintang. Tinggal temuin aja orangnya, terus tanyain abis itu kelar deh.
Bintang mendekati salah satu anak yang memakai jas almamater, yang sedang berdiri di dekat stan makanan. Ia berdeham grogi.
“Mmm, permisi?” panggilnya pada cewek yang rambutnya diikat tinggi itu. Si cewek menoleh pada Bintang, mengangkat alisnya bingung.
“Eee- boleh minta tolong? Mau ketemu sama ketua acaranya, bisa? Dari medif kampus mau ngeliput, hehe.” Bintang meringis gugup.
“Ooh, bentar ya!”
Bintang mengembuskan napas lega saat cewek itu pergi untuk memanggil ketua acara. Ia dapat melihat si cewek menghampiri seseorang yang sedang sibuk memberikan instruksi pada beberapa anggotanya dan membisikkan sesuatu padanya. Ketua acara yang dimaksud melempar pandang sejenak pada Bintang di kejauhan lalu mengangguk pada si cewek yang memberitahunya. Bintang kembali merasa gugup saat cowok itu mulai berjalan ke arahnya.
“Hai, Evan ya?” sapanya dengan senyum tipis di wajah.
Semerbak parfum samar-samar dari cowok itu tidak terlewatkan oleh indra penciuman Bintang. Cowok yang berdiri di depan Bintang ini jauh lebih tinggi darinya, rambutnya hitam legam dengan beberapa helai anak rambut yang terjatuh menutupi dahinya, bergoyang pelan tertiup angin. Lengan jas almamater yang dikenakannya ditarik hingga ke siku, memperlihatkan arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
Ganteng. Itu kesan pertama yang terlintas di pikiran Bintang.
“Ah, gue-“ Bintang mengecek dirinya sendiri, meskipun ia tahu betul tidak ada identitas apapun di pakaiannya. “Iya, Evan.”
Bintang juga tidak tahu kenapa ia harus memperkenalkan dirinya sebagai Evan. Sepertinya otaknya sudah tidak bisa diajak bekerjasama. Ngikut ajalah daripada ribet, pikirnya.
“Sebelumnya gue mau minta maaf dulu nih, Van. Kayaknya gue nggak bisa lama-lama, soalnya ada panitia yang izin dan gue harus handle jobdesk dia dulu. Nggak papa kan, kalo misal nanti sisanya by phone aja? Atau gimana?”
“Hah?”
“Nggak keburu-buru kan lo bikin liputannya?” tanyanya lagi.
Bintang hanya bisa mengangguk cepat, ia tidak punya banyak pilihan.
Bodo deh, terserah.
“Oke, ya udah silahkan.”
Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, Bintang segera membuka ponselnya lagi untuk membacakan daftar pertanyaan yang dikirim Evan.
Setidaknya ada lima pertanyaan yang berhasil ditanyakan oleh Bintang dari sepuluh pertanyaan yang ada. Lumayan sudah dapat setengah dari hasil liputan, jadi Evan tinggal mengerjakan setengahnya lagi nanti via telepon. Begitu pikir Bintang.
“Boleh pinjem hape lo?”
Bintang mengangkat alisnya, tanpa sadar sudah mengulurkan ponselnya yang segera berpindah tangan. Tidak berapa lama cowok itu mengembalikan ponsel Bintang setelah memasukkan nomornya untuk menghubungi ponselnya sendiri.
“Sori, kemaren gue lupa belum sempat nyimpen nomor lo,” ucapnya sembari melambaikan ponsel miliknya di tangan.
Bintang melihat layar ponselnya yang menampilkan beberapa angka di daftar panggilan keluar.
“Gue balik ngurusin acara dulu, ya. Nanti sisanya kalo gue udah longgar, biar gue yang hubungin lo duluan. Makasih, Evan.”
Cowok itu kembali mengulas senyum tipis sebelum beranjak pergi.
“Iya, sama-sama,” balas Bintang, selanjutnya tak terdengar karena si ketua acara sudah meninggalkannya. “Ar...juna.”
ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak di Antara Semesta
FanfictionKetika kita sadar bahwa kita hanyalah serpihan kecil di antara semesta. Namun pertemuan dengan jiwa-jiwa yang saling mencari sembuh, membuat sadar akan makna diri dan juga hidup. Kisah tentang Bintang, Biru, dan Bara. Serta semua angan dan luka yang...