> playlist: Cermin - Nadin Amizah
َ
َ
َㅡ
Ada sedikit banyak cerita yang tidak Bintang bagikan kepada orang lain. Bukan karena ia tak menaruh percaya pada mereka, namun rasanya cukup jika itu tetap tinggal di dalam kurungan hatinya saja. Bintang lebih suka mendengar kisah orang lain daripada menceritakan kisahnya sendiri. Ia terkadang membenci tatapan orang-orang yang melihatnya dengan kening berkerut sembari mengatakan ‘lo nggak pernah cerita soal itu, gue kira lo baik-baik aja?’.
Tapi pagi ini sedih menyelimuti hatinya lagi saat kakaknya mengatakan kalau ayahnya tidak bisa pulang tahun ini. Bulan tahu adiknya sudah menunggu-nunggu sejak lama untuk kepulangan sang ayah. Yang ternyata harus menelan kekecewaan lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Abin, ini Ayah mau ngomong,” seru Bulan dengan ponsel di tangan.
Bintang pura-pura tidak mendengar, sibuk memakai sepatunya. Ia sudah mencuri dengar tadi saat ayahnya menyampaikan pada kakaknya kalau ia masih belum bisa meninggalkan pekerjaan tahun ini.
“Abin,” panggil Bulan lagi lebih keras.
Adiknya itu segera beranjak berdiri sambil membenarkan letak tas ranselnya di bahu. Matanya melirik sejenak pada Bulan sebelum mengucapkan satu kalimat lalu meninggalkannya untuk berangkat ke kampus.
“Bilang sama Ayah, nggak usah pulang sekalian.”
ㅡ
“Bin, kenapa?”
Biru mendatangi Bintang yang hanya duduk termangu dengan kameranya di pangkuan. Ia tidak mengikuti Biru yang menjelajahi beberapa sudut untuk mengambil foto. Hari ini rasanya Bintang hanya ingin diam menuruti rasa kecewa dan marahnya.
“Nggak papa.”
Lagi-lagi hanya itu yang bisa terucap dari mulut Bintang. Biru mengambil tempat di sebelahnya, menghela napas sambil mengecek hasil fotonya. Cowok itu kemudian membuka suara lagi saat Bintang masih belum memberikan tanda ingin berbagi cerita.
“Tau nggak, Bin? Ada satu anak yang suka ngumpulin surat-surat yang dia tulis buat anak yang suka gangguin dia. Tapi dia nggak pernah ngasihin surat itu, semuanya dia simpen sendiri sampai suatu hari udah nggak ada tempat lagi buat dia nyimpen surat-surat yang jumlahnya banyak banget itu.”
Bintang akhirnya menoleh ke arah Biru, mendengarkan.
“Akhirnya anak itu ngebuang semua suratnya ke tong sampah. Dan dia balik nulis surat-surat itu lagi sampe dia capek. Terus, suatu hari dia dapet surat dari orang nggak dikenal. Di surat itu dia bilang ‘Hai, aku baca semua surat yang kamu buang di tong sampah. Kalau mau, kamu boleh bertukar surat denganku. Aku pasti akan membaca semua ceritamu.’ Sejak hari itu, dia mulai tukeran surat. Walaupun dia masih suka digangguin sama anak yang usil sama dia, tapi seenggaknya ada orang lain yang mau dengerin ceritanya.”
Setelah menyelesaikan ucapannya, Biru mengalihkan tatapannya untuk bertemu dengan sepasang mata Bintang. Ada lega yang menyapa saat Bintang merekahkan senyum tipis, paham dengan yang baru saja dikatakan Biru.
“Jadi, anggep aja gue orang yang nemuin surat-surat lo yang nggak pernah lo kirim itu,” ucap Biru.
Entah apa yang membuat Bintang meluluhkan pertahanannya saat ia selalu berusaha untuk menyimpan semuanya sendiri. Mungkin hatinya yang terlalu penuh dengan sedih dan amarah, surat-surat yang tak pernah tersampaikan seperti kata Biru. Mungkin ucapan Biru yang terdengar meyakinkan di telinganya. Atau mungkin sesederhana alasan karena itu adalah Biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak di Antara Semesta
أدب الهواةKetika kita sadar bahwa kita hanyalah serpihan kecil di antara semesta. Namun pertemuan dengan jiwa-jiwa yang saling mencari sembuh, membuat sadar akan makna diri dan juga hidup. Kisah tentang Bintang, Biru, dan Bara. Serta semua angan dan luka yang...