5. Pameran Foto

1.9K 260 44
                                    

Hidup berjalan karena takdir yang membentuk setiap nasibnya, atau karena tingkah laku masing-masing individu yang sedikit demi sedikit membawa mereka dekat dengan apa yang disebut dengan takdir? Namun rasanya Bintang tidak melakukan apapun, atau begitu yang ia pikir, saat suatu hari Biru kembali menghubunginya.

Sebuah pesan singkat tanpa embel-embel menanyakan kabar, menawarinya ajakan ke sebuah pameran foto. Yang sebenarnya selama ini belum pernah Bintang datangi acap kali ada waktu, karena ia hanya suka memotret. Hanya amatir, bukan penangkap gambar yang andal. Ia selalu ingin, tapi tidak tahu harus mengajak siapa. Evan sudah pasti lebih memilih pergi bersama Candra. Bara kadang-kadang suka bosan kalau diajak ke tempat seperti itu.

Minggu pagi Bintang sudah bangun lebih awal dari biasanya. Biasanya ia baru bangun saat matahari sudah tinggi, itu juga harus diteriaki dulu oleh Bulan yang menyuruhnya untuk mencuci sepatu atau menjemur kasur. Makanya Bulan memandanginya dengan tatapan penuh selidik saat Bintang keluar dari kamarnya sudah rapi dan wangi.

“Mau ke mana?” tanya kakaknya.

“Kepo, deh,” balas Bintang sambil memakai sepatunya.

“Ih, bilangin ke bunda, ya?”

“Bilangin aja.” Bintang menjulurkan lidahnya sebelum berteriak untuk berpamitan pada bundanya.

“Bunnn, Abin berangkat dulu!”

“Iya, jangan malem-malem pulangnya,” sahut bunda dari taman belakang.

Bulan buru-buru membuntuti Bintang yang sudah keluar dari rumah, mendapati motor seseorang yang sudah berhenti di depan. Tapi ia tahu itu bukan motor Bara.

“Bun, Abin pergi sama siapa, sih?” tanya Bulan begitu Bintang sudah berangkat.

“Sama temennya, mau liat pameran foto katanya.”

“Tapi tadi bukan motor Bara tau, Bun.”

“Emangnya kamu kira temen dia cuman Bara?” ledek bundanya, membuat Bulan berpikir. Iya juga, sih. Tapi siapa?

Sejujurnya Bintang agak canggung dibonceng orang lain selain Bara. Soalnya ia tidak tahu harus menaruh tangannya di mana. Motor milik Biru ini jenis motor yang memang digunakan untuk pacaran, yang tidak ada pegangannya di pinggiran jok. Dan mengharuskan pemboncengnya untuk berpegangan pada si pengemudi kalau tidak mau jatuh. Tapi ngomong-ngomong soal pacar, Bintang jadi berpikir. Biru mengajaknya pergi seperti ini apa pacarnya tidak marah?

Baru saja Bintang membatin kalau ia bisa saja terjungkal dari motor saat Biru mengerem motornya di lampu merah. Ia memegangi dadanya karena kaget, mencoba mengatur napasnya kembali.

Biru membuka kaca helmnya, menolehkan kepalanya ke belakang.

“Bin, pegangan ke gue aja nggak papa. Nanti jatuh,” ujarnya.

“Hah? Oh- iya,” sahut Bintang gelagapan.

Pegangan gimana, sih???

Akhirnya jari-jari Bintang mencengkeram ujung jaket denim Biru kuat-kuat.

“Udah pegangan?” tanya Biru memastikan.

“Udah, udah.”

Biru menutup kembali kaca helmnya sebelum tancap gas saat lampu sudah berganti warna hijau.

Pameran foto yang digelar di salah satu gedung yang terlihat mewah itu mengangkat tema “Lebih Dekat”. Sebagian besar jepretan yang terpajang di sisi-sisi dinding menampilkan close up obyek yang difoto, juga menangkap dari sudut-sudut yang biasanya terlewatkan oleh kasat mata. Bintang sendiri sangat suka dengan jenis foto yang diambil seperti ini. Rasanya foto-foto itu bisa memberinya lebih banyak cerita dari melihatnya secara langsung.

Jejak di Antara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang