23. Langit Berbintang

1.3K 170 125
                                    

> playlist: Hampir Sempurna - Rendy Pandugo

َ
َ
َ

“Bin? Bintang?”

Edgar membungkukkan badannya di depan Bintang yang masih tertidur pulas di bangku. Tangannya menepuk pelan pipi Bintang untuk membangunkannya.

Merasa seseorang mengganggu tidurnya, Bintang perlahan membuka matanya dan langsung mendapati wajah ketua divisinya itu di depannya. Bintang mengerjapkan matanya cepat sebelum mengedarkan pandangan ke sekitarnya.

“Kak, ini jam berapa?” tanyanya panik.

“Setengah lima, eval udah mau mulai makanya gue nyariin lo,” jelas Edgar. Cowok itu cukup takjub menemukan Bintang yang bisa-bisanya tertidur di area sini.

“Yuk?” ajak Edgar sambil mengulurkan tangannya. Sekali lagi Bintang melihat ke sekelilingnya sebelum akhirnya menerima uluran tangan Edgar dan bangkit untuk menuju ruang evaluasi.

Biru udah pulang, ya?

Melangkahkan kakinya panjang-panjang untuk mencapai tempat yang jauh dari jangkauan Bintang, Biru kemudian kembali menaruh ponsel ke telinganya pelan-pelan. Ia tidak mungkin salah dengar, bahkan hingga kesekian kalinya pun Biru akan selalu mengenali suara itu.

“Kamu dapet nomor aku dari mana?” tanya Biru dalam satu hembusan napas.

“Ar, kamu apa kabar? Aku nggak bisa-”

“Kar, kamu dapet nomor aku dari mana?” Biru mengulangi pertanyaannya kali ini dengan penekanan di setiap kata yang ia ucapkan.

Terdengar tarikan napas di seberang.

“Emangnya penting ya, Ar? Aku dapet nomor kamu dari mana? Kontak kamu tiba-tiba nggak bisa dihubungin, aku nggak tahu lagi mau hubungin kamu lewat mana. Temen-temen kamu juga nggak ada yang punya kontak baru kamu. Atau mungkin kamu yang sengaja nyuruh mereka buat nggak ngasih ke aku.”

Biru mengusap wajahnya letih. Memang ia sengaja mengganti nomor dan memutus semua koneksi dengan cewek itu agar ia bisa lebih mudah melupakan semua rasa pahit di masa lalu.

“Ar… Aku cuma pengen ketemu. Aku pengen ngobrol sama kamu.”

“Apa yang mau diobrolin lagi sih, Kar? Kayaknya semuanya udah cukup jelas waktu kamu pergi.”

“Arjuna, kamu masih marah sama aku?”

Biru baru menjawab setelah beberapa detik dirinya terdiam. “Nggak, Sekar.”

“Kalo nggak, harusnya kita masih bisa ketemu. Ada banyak hal yang pengen aku omongin, yang nggak bisa kita bicarain dulu karena kita masih sama-sama nyimpen ego. Aku pengen ngobrol banyak sama kamu, Ar.”

Biru menekan kedua pelipisnya kalut. Ini bukan sepenuhnya salah Sekar, dirinya juga ikut andil dalam retaknya hubungan mereka karena ia benar-benar tidak bisa menghadapi apa yang telah terjadi dan memilih untuk kabur dari semuanya. Tapi jika Sekar ingin membahas semua yang belum terselesaikan di waktu lalu, kenapa harus sekarang? Kenapa harus saat Biru akhirnya menemukan seseorang yang dapat menjadi sandaran untuknya?

“Arjuna?”

“Mau ngobrol gimana? Kamu udah nggak di sini.”

“Kamu bahkan nggak tau ya, aku udah balik lagi ke sini?” Sekar tertawa samar. “Konyol banget dulu kita harus putus kalo akhirnya aku nggak jadi pergi jauh.”

Jejak di Antara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang