34. Yang Tersisa

1.4K 149 136
                                    

(a/n) sooo this is the last chapter before the upcoming epilogue to end this story (FINALLY!!)

> playlist: seperti takdir kita yang tulis - Nadin Amizah

Perdebatan panjang yang terjadi antara ayah dan ibu Bara di sambungan telepon akhirnya tetap berujung pada keputusan Bara untuk pergi meninggalkan rumah, meninggalkan ayahnya dan membawa serta Adista bersamanya. Hingga hari keberangkatan Bara pun, sang ayah tetap tak mau mengucapkan apa-apa. Bara melihat ayah yang duduk sambil menikmati tehnya tanpa menghiraukan dirinya yang sudah bersiap untuk pergi. Bagi Bara ini adalah bentuk kekalahan ayahnya, penyerahan dirinya yang tak bisa lagi mengekang Bara. Ayah sama keras kepalanya dengan dirinya, jadi Bara dapat memahami itu. Dengan kepergian Bara, ia berharap ayahnya dapat memiliki seluruh waktu untuk merenungkan apa yang telah diperbuatnya pada keluarga ini. Karena Bara sudah siap untuk melangkah ke depan.

Rendra sudah berjanji untuk mengantar Bara dan adiknya hingga ke stasiun. Di dalam mobil ia hanya diam membisu meskipun banyak sekali yang ingin dikatakannya pada Bara. Semalaman Rendra tak dapat membendung air matanya yang terus menetes memikirkan Bara yang akan pergi jauh, meninggalkannya dan perasaannya yang disimpannya sendiri.

"Sampe sini juga gue akhirnya," ucap Bara diiringi helaan napas saat mereka sampai di stasiun. Tetapi Rendra tahu ada maksud lain dari perkataan Bara.

"Baik-baik di sana. Jangan macem-macem lagi. Udah ada nyokap lo yang harus lo jagain," pesan Rendra tanpa berani untuk melihat ke dalam mata Bara. Ia takut tangisnya tumpah lagi.

"Lo juga. Dengerin omongannya Mbak Tia buat rajin makan sayur. Jangan kayak kemarin-kemarin nunggu sakit dulu baru mau makan sehat."

Rendra mengangguk pelan mendengar nasihat dari Bara. Selama ini ibunya selalu mempercayakan Rendra pada Bara untuk menjaga anak semata wayangnya itu. Meskipun Bara seringkali sibuk dengan urusannya sendiri namun tak jarang ia menanyai Rendra perihal makan atau kuliahnya. Pertanyaan-pertanyaan kecil seperti 'Gue beli gado-gado, lo mau nggak?' atau 'Udah nugas belom lo?' yang kerap dilemparkan Bara sudah menjadi sesuatu yang biasa.

Melihat sahabatnya yang bertingkah tak seperti biasanya sejak menjemputnya di rumah tadi hingga sampai sini membuat Bara tersadar bahwa kepergiannya kali ini pasti berat bagi Rendra. Namun ia tahu Rendra juga mendukung keputusannya kali ini.

Bara melangkahkan kakinya untuk menutup jarak antara dirinya dan Rendra sebelum kemudian satu tangannya menarik kepala Rendra ke dalam pelukan.

"Nanti kalo gue balik ke sini, lo orang pertama yang bakal gue temuin," bisik Bara rendah. Serta-merta Rendra melingkarkan kedua lengannya untuk memeluk tubuh Bara erat-erat. Tak ingin melepas.

"Makasih ya, Ren. Gue banyak hutang maaf dan makasih sama lo. Nggak sadar lo yang selama ini harus selalu gue jagain ternyata udah lebih dewasa daripada gue. Udah bisa gue lepas sendiri."

Rendra mengetatkan pelukannya. Ingin sekali ia mengucapkan betapa besar rasa sayangnya pada Bara. Bahwa ia menyimpan perasaan yang dalam pada sahabatnya itu sejak lama. Namun Rendra tak mau momen terakhir mereka harus kacau hanya karena keegoisannya. Perasaan itu hanya Rendra yang memiliki.

"Makasih udah jadi sahabat gue yang paling baik. Makasih udah jadi Rendra yang selalu ada buat gue," tutup Bara.

Gue sayang… gue sayang lo, Bara. Rendra meneriakkannya kuat-kuat dari dalam hatinya, berharap mungkin Bara akan sedikit saja merasakannya.

Seketika ada rasa ngilu yang sekilas melintasi dada Bara. Entah untuk alasan apa. Mungkin karena ia akan pergi jauh dan tak dapat melihat Rendra lagi setiap hari seperti biasanya. Tidak ada lagi yang memarahinya setiap kali ia pulang terlambat dengan membawa motor Rendra yang lecet. Tidak ada lagi suara berisik yang sudah menjadi sesuatu yang dikenal baik oleh telinganya. Tidak akan ada Rendra.

Jejak di Antara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang