32. Madre

1K 156 26
                                    

Hari itu sekolah berakhir lebih awal dari biasanya. Anak-anak dengan seragam putih merah berhamburan keluar kelas dengan tawa bahagia. Ada yang pergi untuk bermain, mampir untuk jajan, juga ada yang langsung pulang ke rumah.

Salah seorang anak laki-laki di antaranya memilih untuk ikut bermain bola di halaman sekolah yang biasa dijadikan lapangan saat olahraga. Kakinya gesit menggiring bola melewati teman-temannya. Saat bola itu melesat masuk ke garis yang dijadikan batas untuk area gawang, anak itu mengacungkan tangannya sebagai tanda kemenangan sebelum mulai berlarian mengitari lapangan diikuti teman-teman satu timnya.

“Ah, males. Bara pasti cepet-cepet menang biar bisa cepet pulangnya,” celetuk salah satu anak.

Anak yang barusan mencetak gol itu menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.

“Kalian aja yang mainnya payah! Ayo, main sekali lagi.”

“Oke! Yang kalah harus balikin bola ke gudang, ya?”

“Siapa takut?”

Permainan akhirnya dilanjutkan kembali namun kali ini anak-anak yang berada di tim lawan berhasil mengalahkan tim Bara. Mereka bersorak-sorai di depan Bara yang membuat anak itu memasang wajah kesal.

“Bara, kamu yang balikin bola, ya?” pinta temannya.

“Kok aku?”

“Iya, kamu yang bikin tim kita kalah tadi.”

Meskipun dengan berat hati, Bara tetap memungut bola itu dari tanah. Bersiap untuk mengembalikannya ke gudang yang letaknya di belakang sekolah.

“Ati-ati, Bar. Di gudang katanya ada hantu!”

Teman-teman Bara cekikikan sambil mengambil sepedanya untuk pulang. Bara hanya mengangkat bahunya enteng. Ia tidak takut pada apapun. Ibunya selalu memberitahunya kalau anak lelaki itu harus kuat dan berani. Harus bisa menjaga diri dan orang-orang baik di sekitarnya.

Bara berhenti sejenak saat ia telah sampai di depan pintu gudang yang tertutup itu. Seharusnya ia tinggal membuka pengunci pintu itu dan menaruh bolanya ke dalam, tapi ada suara samar yang membuat Bara membeku di tempat.

Suara yang mirip seperti tangisan pelan.

Lagi-lagi Bara meyakinkan dirinya kalau ia tidak takut pada apapun, termasuk hantu. Bara membuka pengunci pintu pelan-pelan lalu mendorong pintu itu hingga terbuka. Namun apa yang dilihatnya seketika membuat tubuhnya terjungkal ke belakang.

Seorang anak dengan seragam yang sama dengannya, terduduk di lantai dengan memeluk kedua kakinya erat-erat. Saat wajah anak itu mendongak, Bara dapat melihat dengan jelas air mata yang membasahi pipinya.

Tunggu, Bara mengenal anak itu. Tapi ia tidak tahu kenapa dia bisa berada di dalam sini.

Bara perlahan bangkit dari jatuhnya lalu menepuk celananya yang terkena debu. Ia mengulurkan satu tangannya pada anak itu yang akhirnya disambut dengan ragu, membantunya untuk berdiri.

“Kamu nggak papa?” tanya Bara.

Anak itu masih sesenggukan, punggung tangannya mengusap ingus yang keluar dari hidungnya karena terlalu banyak menangis. Kemudian ia mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan Bara.

“Kok kamu bisa di dalem sini? Kekunci, ya?” tanya Bara lagi.

Buru-buru anak itu menggelengkan kepalanya.

“Aku… dibawa sama temen-temen,” ucapnya dengan suara yang kecil. “Dikunciin.”

Bara membulatkan matanya kaget. Siapa teman-temannya yang tega menguncinya di gudang sekolah yang jarang dilewati orang ini?

Jejak di Antara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang