> playlist: Desember - Efek Rumah Kaca
َ
َ
َ
> tw // mention of violence, bloodㅡ
Kamar Bintang hening meskipun ada dua anak manusia di dalamnya, yang satu berusaha memberi tenang pada yang lain. Hanya suara nafas yang menderu mengisi kekosongan pada sudut-sudut ruang yang dingin.
Bintang sudah menghentikan pendarahan di hidung Bara. Beberapa kapas bekas membersihkan darah terkumpul di kaki ranjang. Lelaki itu sekarang duduk di hadapan Bintang, masih berusaha mengatur napasnya.
“Bangsat,” umpatnya pelan. Bintang langsung meraih tangannya lagi berusaha meredam amarah Bara. “Kapan sih, tuh orang minggat dari rumah?”
Sebuah pertanyaan retoris yang tiada satupun tahu jawaban atas pertanyaan itu. Bintang hanya bisa menepuk-nepuk punggung tangan Bara, mengingatkannya kalau ia masih ada di sini. Walaupun ia juga tidak tahu pasti apa keberadaannya bisa mengurangi sedikit saja beban di pundak Bara.
“Bar, Adis gimana?” tanya Bintang pelan mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Bara menghela napas saat Bintang menanyakan tentang adiknya. “Gue suruh dia nginep di rumah temennya dulu. Besok pagi gue jemput.”
Bintang mengangguk pelan. Ia mengamati Bara yang masih bergetar, berusaha keras mengontrol emosinya sendiri. Ia tahu seberapa kuat Bara mencoba menahan sakit. Kemudian perlahan Bintang mendekatkan dirinya pada Bara sebelum merengkuhnya dalam satu pelukan.
“Makasih udah dateng ke gue,” bisik Bintang pada satu telinga Bara.
Bara akhirnya menumpukan seluruh bebannya pada Bintang, meletakkan dagunya pada pundak cowok itu. Ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan berkali-kali. Seakan yang dilakukannya dapat mengeluarkan semua sakit dan amarah dari dalam dirinya. Lengannya kemudian terulur untuk balas mendekap Bintang. Cowok ini adalah pusat rasa amannya saat ini dan yang bisa ia lakukan adalah menyerahkan keseluruhan dirinya padanya.
ㅡ
Selalu ada hembusan napas yang tertahan di dada tiap kali Biru hendak membuka pintu rumahnya. Dan saat ia akhirnya menginjakkan kakinya ke dalam, ia harus kembali mengenakan pakaian baja yang selalu digunakan untuk melindungi dirinya sendiri. Berat dan sesak tentu saja. Tapi untuk saat ini Biru tidak dapat melepaskannya dan membiarkan dirinya jatuh.
Ibu adalah orang pertama yang Biru cari setiap ia sampai di rumah. Tapi wanita itu tidak ada di ruang tengah, tidak juga di dapur di mana ia biasa menyeduh teh. Biru mengintip ke kamar Adinda dan mendapati adiknya sedang asyik menonton film. Ia lalu melanjutkan langkahnya menuju ke samping rumah.
Di antara tanaman yang setiap hari dirawat oleh ibunya, berdirilah wanita itu dengan sisi badan yang disandarkan pada pilar rumah. Ia menatap lurus ke arah tembok pembatas rumah, entah apa yang sedang dilihatnya.
“Bu,” panggil Biru pelan. Namun wanita itu tidak menjawabnya, membuat Biru harus melangkah lebih dekat.
“Ibu,” panggil Biru lagi, kali ini diiringi dengan sentuhan pelan pada pundak ibunya.
Bahu ibunya terangkat karena terkejut, tidak menyadari Biru sudah ada di belakangnya. “Biru, kamu udah pulang?”
Biru tidak dapat mengabaikan bekas tangis di wajah ibunya. Ia merutuk dirinya sendiri, namun ia lebih marah karena ibunya tetap berusaha tersenyum meskipun ia tahu hatinya sedang tidak baik-baik saja.
“Iya, tadi temen Biru harus balik cepet,” jawab Biru berusaha untuk tidak menanyakan mengapa ibunya menangis.
“Oh, siapa? Arka, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak di Antara Semesta
FanfictionKetika kita sadar bahwa kita hanyalah serpihan kecil di antara semesta. Namun pertemuan dengan jiwa-jiwa yang saling mencari sembuh, membuat sadar akan makna diri dan juga hidup. Kisah tentang Bintang, Biru, dan Bara. Serta semua angan dan luka yang...