30. Luka Itu Menemukan Penciptanya

1.1K 157 144
                                    

Sudah beberapa menit Rendra memandangi gelas kopinya yang tak henti diaduk menggunakan sedotan. Gelombang yang terbentuk di permukaan air kopinya seakan mengiringi laju pikiran Rendra yang masih tertinggal pada momen beberapa saat yang lalu saat Bintang mendatangi rumahnya.

"Bara besok udah boleh pulang."

Berita yang harusnya membuat Rendra lega. Ia memang lega, namun ada perasaan lain yang mengalahkan itu. Rendra tidak tahu bagaimana untuk menghadapi sahabatnya lagi semenjak ia memutuskan untuk mundur. Bahkan sepertinya Bintang menangkap bagaimana ia selalu berusaha untuk menghindar jika disuruh untuk menemui Bara.

"Lo lagi sibuk banget, ya? Bara bilang lo susah dihubungin. Kalo emang lagi sibuk banget, biar gue aja yang ngurusin Bara besok. Tapi gue mau nanya dulu apa aja yang harus gue siapin."

Sibuk. Alasan paling payah yang bisa Rendra katakan karena tidak ada hal lain yang lebih masuk akal. Rendra bahkan terlalu pengecut untuk mengatakan alasan sebenarnya ia mencoba menjaga jarak dengan Bara. Cowok itu mungkin tidak akan pernah peduli. Dengan Bintang yang entah bagaimana kembali menjadi pundak bagi Bara untuk bersandar, Rendra semakin yakin tak ada lagi tempat untuknya yang memang sedari awal hanyalah seorang teman kecil di mata Bara.

Rendra menyerahkan semua tanggung jawab yang dilimpahkan ayah Bara kepada Bintang. Dan sebelum Bintang benar-benar pergi meninggalkan rumahnya, satu pesan terakhirnya membuat Rendra kembali dilanda dilema.

"Oh, iya, Ren. Kalo sempet hubungin Bara, ya. Kayaknya dia ada butuh sesuatu sama lo, dari kemarin nyariin lo terus."

Rendra sangat membenci dirinya karena hingga detik ini pun ia tak bisa benar-benar mengenyahkan Bara dari dalam kepalanya.

Entah apa yang membuat Rendra tiba-tiba seperti hilang ditelan bumi, dan entah apa yang membuat Bara sedikit menaruh kekhawatiran pada sahabatnya itu. Ini sama sekali tidak seperti Rendra. Bara jadi berpikiran mungkin Rendra memiliki masalah yang ia tidak tahu atau sengaja tidak dikatakannya, namun Bara tidak tahu pasti apa yang sedang dialami temannya itu.

Bara sudah duduk di kursi rodanya saat Bintang kembali ke kamarnya setelah menyelesaikan urusan administrasi. Cowok itu langsung menghampiri Bara untuk mendorongnya keluar kamar.

“Gue bisa jalan kok, Bin,” ucap Bara lagi setelah sebelumnya Bintang memaksanya untuk menggunakan kursi roda.

Bintang berdiri di depan Bara dengan tatapan tidak setuju. Ia lalu membungkukkan badannya untuk membuka pengunci rodanya.

“Udah, nggak usah ngeyel. Tadi perawatnya bilang kalo kaki lo emang udah nggak papa, cuman lo belum boleh banyak jalan.”

Bara terus memperhatikan Bintang yang masih berkutat dengan kursi rodanya. Memiliki Bintang kembali di dekatnya seperti ini membuat perasaannya campur aduk. Mungkin karena prasangka yang selalu bersarang di pikiran Bara membuatnya yakin bahwa pada akhirnya Bintang akan pergi meninggalkannya. Namun Bintang kembali.

Maka saat Bintang menegakkan punggungnya setelah berhasil membuka pengunci kursi roda, Bara serta-merta menarik satu lengan Bintang hingga cowok itu terhuyung ke arahnya dan membiarkan bibirnya menempel tepat pada milik Bintang. Ciuman itu berlangsung hingga beberapa detik sebab Bara ingin memastikan sesuatu.

Bara masih sayang Bintang. Amat sangat sayang. Jadi Bara tidak paham mengapa ada celah di hatinya yang tetap tak terisi sekalipun ia telah mendapatkan Bintang kembali.

Begitu Bara membuka matanya dan menarik diri, seketika ia terkesiap menemukan siluet seseorang di luar pintu. Seseorang yang langsung beranjak pergi bahkan sebelum Bara sempat menemukan suaranya.

Jejak di Antara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang