Mendapat curahan kasih sayang dan pengorbanan dari orang-orang terdekatnya saat ia masih belajar untuk tumbuh, menciptakan suatu pemikiran yang kuat tertanam di kepala Bara bahwa ia harus menjaga dan melindungi mereka sama besarnya. Nenek dan ibunya adalah dua orang yang selalu berusaha ia jaga mati-matian. Mereka yang mengajarkan Bara untuk akhirnya berani melangkah maju dan menjadi tameng bagi siapapun yang disayanginya.
Namun rupanya pemikiran itu terpaksa direnggut darinya saat ia menyadari bahwa seseorang bisa pergi, menyerah dari dirinya. Guncangan pertama yang terjadi dalam hidup Bara saat ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, seseorang yang selama ini menjadi pegangannya dan juga yang ia lindungi membalikkan badan dan membiarkan Bara menatap punggungnya yang kian menjauh. Pergi. Bara kehilangan arah.
Semua hal yang telah diyakininya selama ini perlahan mengabur dan hilang tak bersisa. Bara tidak tahu lagi ke mana ia harus berpegang, apa yang harus ia percaya dan apa yang hanya janji semu. Tangannya meraba-raba dalam gelap.
Hingga jejak langkahnya bersinggungan dengan seseorang.
Cahaya Bintang Asghara.
Pertemuan pertamanya dengan Bintang saat ia membantu cowok itu menemukan dompetnya yang hilang, tidak meninggalkan kesan yang begitu berarti. Bintang hanyalah orang asing yang beruntung mendapat niat baik dari Bara hari itu. Tidak ada yang begitu spesial tentang Bintang, hanya hal-hal yang sedikit mengingatkannya pada yang telah pergi meninggalkan Bara. Mungkin itu yang secara tak sadar membuatnya terus kembali pada Bintang. Bintang yang selalu sadar akan resahnya, yang selalu menyambutnya dengan tangan terbuka saat yang lain berpaling. Entah sejak kapan Bara mulai menjadikan Bintang tempatnya untuk bersandar, menumpukan seluruh bebannya pada cowok itu.
Bohong kalau Bara sama sekali tidak menduga adanya perasaan lain yang terlibat. Sejak pertama kali ia menunjukkan rapuhnya di hadapan Bintang, otaknya juga mengirimkan sinyal akan kemungkinan terburuk. Tapi apalah yang bisa diperbuat Bara, hanya seorang anak yang begitu membutuhkan sebuah peluk untuk meredam gelisahnya saat itu. Bara tidak perlu mengkhawatirkan yang lainnya lagi.
Asalkan ia tahu Bintang ada di sisinya, Bara tidak takut akan hal-hal lain yang terjadi. Asal ia tahu Bintang masih berada dalam jangkauannya.
ㅡ
“Gimana, sih? Udah dibilang suruh print warna malah dikasih hitam putih. Percuma gue tinggal sampe selesai kelas, pas mau ambil malah nge-print ulang.” Bintang bersungut-sungut sebelum menghempaskan badannya dengan keras di sebelah Bara. Tumpukan kertas yang dibawanya dijatuhkan begitu saja di atas meja.
“Kenapa sih, ngomel-ngomel?” tanya Bara pada Bintang yang datang menghampirinya dengan muka ditekuk.
“Tuh, proposal acara sama mas fotokopian salah dicetak jadi hitam putih! Jadi nunggu lagi buat print padahal harusnya ini udah bisa jalan buat cari sponsor,” keluh Bintang, menghembuskan napas keras karena kesal.
Mendengar keluhan Bintang, Bara mengangkat alisnya lalu meraih tumpukan kertas yang sudah dijilid rapi itu. Ia membaca tulisan di halaman sampul. Acara jurusan Bintang yang akan diadakan beberapa bulan lagi.
“Ini kan udah bener, ya udah tinggal jalan aja?” Bara menepukkan proposal itu pelan ke kepala Bintang yang kemudian langsung memprotes.
“Lo bisa nganterin gue nggak, Bar?” tanya Bintang kemudian.
“Sekarang?”
Bintang mengangguk. “Iya, sekarang. Biar bisa cepet juga konfirmasi ke kadiv.”
“Hmm…” Bara bergumam sambil mengecek arlojinya. “Tapi jam empat-an gue ada janji sama Rendra.”
“Rendra mulu,” cetus Bintang, bibirnya mengerucut lucu. “Janji apaan? Lo futsal kan hari sabtu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak di Antara Semesta
FanfictionKetika kita sadar bahwa kita hanyalah serpihan kecil di antara semesta. Namun pertemuan dengan jiwa-jiwa yang saling mencari sembuh, membuat sadar akan makna diri dan juga hidup. Kisah tentang Bintang, Biru, dan Bara. Serta semua angan dan luka yang...