tw // mention of death
ㅡ
Biru mengikuti langkah kaki Bintang yang berjalan cepat melewati lorong-lorong rumah sakit. Menginjakkan kakinya kembali di tempat ini membuat Biru sedikit merasa mual karena ingatannya pasti langsung tertuju kepada ayahnya. Bau rumah sakit yang sudah melekat kuat dalam ingatan, juga sudut-sudut tempatnya yang Biru hafal di luar kepala. Biru sadar Bintang kini mungkin merasakan hal yang sama dialaminya dahulu saat ia tahu keadaan ayahnya yang kritis. Pikiran yang hanya dipenuhi rasa cemas, kalut, serta takut. Maka Biru paham saat mereka akhirnya bertemu dengan Rendra, hal pertama yang Bintang lakukan adalah melepaskan emosinya pada cowok itu.
“Bara kenapa bisa kecelakaan? Balapan lagi?”
“Kak-”
“Dia di mana sekarang?”
“Masih di ruang ICU, Kak. Gue udah hubungin ayahnya Bara, dia bentar lagi mau nyusul ke sini.”
Bintang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba mengatur napasnya yang berantakan karena ia masih menahan isakannya sejak Rendra menghubunginya tadi. Beberapa saat kemudian ia menurunkan tangannya dari wajah untuk menatap Rendra, dicekalnya satu lengan cowok itu.
“Bara balapan lagi?” tanya Bintang dengan suaranya yang rendah, menyimpan getar yang mungkin akan lolos jika ia tak bisa menguasai dirinya.
Rendra tak dapat bersuara saat ditodong pertanyaan oleh Bintang. Kepalanya masih tertunduk dalam, menyadari kalau ia juga ikut andil dalam hal ini.
Diamnya Rendra menyulut amarah yang masih coba Bintang tekan sedari tadi. Tangannya yang mencekal Rendra mengetat, mengguncang tubuh cowok itu yang masih memilih untuk bungkam.
“Lo, tuh, nggak pernah dengerin kata gue ya, Ren? Gue bilang jangan biarin Bara turun ke jalan lagi, lo ngerti nggak, sih!?” Tangis Bintang akhirnya pecah karena luapan amarah dan frustrasi yang tidak bisa dibendungnya lagi. Tangannya terus menghantam lengan Rendra yang masih bergeming. “Gue cuma minta satu hal sama lo, Ren. Cuma satu!”
Tapi Bara nggak pernah mau dengerin gue. Nggak pernah, Kak.
Biru terpaksa merengkuh Bintang dari belakang, mencegahnya untuk menyalurkan emosinya pada Rendra lebih jauh. Cowok itu lalu berucap pelan pada Rendra untuk pergi meninggalkan mereka berdua sementara ia mencoba untuk menenangkan Bintang yang kini menangis di pelukannya.
“Bintang, udah… Kita berdoa aja supaya Bara nggak kenapa-kenapa, ya? Aku tahu kamu lagi panik, tapi kejadian ini bukan salah siapa-siapa. Bukan salah Rendra.” Biru berulang kali mengusap rambut Bintang, mengecup puncak kepalanya hingga pacarnya itu dapat menguasai dirinya kembali.
“Aku takut, Biru…” lirih Bintang. “Bara tuh, pernah- dia pernah-”
Biru berusaha mendiamkan Bintang saat ia tak dapat melanjutkan kalimatnya karena isakannya. Dibimbingnya Bintang yang tubuhnya sudah lemas untuk duduk di bangku yang berderet. Tak dilepasnya pelukannya pada Bintang, meyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja.
“Bara nggak bakal kenapa-kenapa.”
Ayah Bara datang tak lama kemudian dengan raut wajah yang panik. Bintang refleks merapatkan badannya pada Biru, menyembunyikan dirinya dari penglihatan lelaki itu karena kejadian beberapa waktu silam masih membuatnya trauma. Namun rupanya ayah Bara hanya datang untuk menemui Rendra dan berbincang sejenak sebelum pergi kembali untuk mengurusi hal lain. Bintang menyadari bahwa tentu saja ayah Bara lebih mengenal Rendra karena ia sudah jauh lebih lama berteman dengan Bara.
Detik berganti menit, menit berganti jam. Mereka masih menunggu Bara yang belum juga kunjung keluar dari ruang ICU. Biru melihat ke arah arlojinya dan menyadari kalau ia harus segera kembali ke rumah. Semenjak kepergian ayahnya, Biru jadi punya kebiasaan untuk mengatur waktu agar ia tidak pulang terlalu larut. Otaknya terus mengingatkannya bahwa ada ibu dan adik yang harus dijaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak di Antara Semesta
FanfictionKetika kita sadar bahwa kita hanyalah serpihan kecil di antara semesta. Namun pertemuan dengan jiwa-jiwa yang saling mencari sembuh, membuat sadar akan makna diri dan juga hidup. Kisah tentang Bintang, Biru, dan Bara. Serta semua angan dan luka yang...