33. Terbebas Belenggu

1K 158 89
                                    

> playlist: Taifun - Barasuara

'
'
'

Langit masih gelap, matahari belum menunjukkan tanda-tanda kemunculannya. Namun Adista sudah terbangun dan mengintip dari celah pintu kamarnya. Kakaknya terlihat sibuk mempersiapkan sesuatu. Ia sudah diberitahu Bara kemarin kalau kakaknya itu akan menemui sang ibu.

Adista mengangkat alisnya saat akhirnya Bara menemukan dirinya yang sudah terjaga. Bara menghampiri adik perempuannya itu setelah ia menyampirkan ransel ke pundaknya. Dipegangnya kedua bahu adiknya dengan tangannya, tubuhnya membungkuk untuk mensejajarkan tingginya dengan Adista.

“Dek, Abang mau berangkat. Jangan bilang apa-apa ke Bapak. Kalo Bapak nanyain, bilang aja Abang ada acara sama Bang Rendra. Tapi Abang bakal balik hari ini.”

Adista hanya mengangguk pelan.

Bara meraih kepala adiknya ke dalam pelukan. “Nanti kapan-kapan Adis juga bakal ketemu sama Ibu, tapi sekarang cukup Abang dulu yang ketemu.”

“Adis juga pengen ketemu Ibu. Adis pengen ikut Abang.”

Hati Bara sakit lantaran permintaan adiknya yang tak bisa dipenuhinya sekarang. Ia harus memastikan bagaimana situasi ibunya saat ini sebelum membawa Adista bersamanya.

“Abang janji nanti pasti ngajak Adek kalo waktunya udah tepat. Ya?”

Setelah memberikan janji pada adiknya, ponsel Bara berbunyi memberitahukan bahwa Rendra sudah sampai di depan rumahnya. Bara berpesan pada Adista sekali lagi sebelum pergi meninggalkannya.

Perjalanan itu ditempuh dengan menggunakan kereta. Rendra menawarkan diri untuk menemani Bara karena sahabatnya itu tak yakin untuk menemui ibunya sendirian. Banyak ketakutan yang memenuhi dirinya.

Bara melirik ke arah Rendra yang tertidur di sebelahnya tiga puluh menit setelah kereta bergerak meninggalkan stasiun. Kepalanya oleng kesana kemari hingga akhirnya mendarat di bahu milik Bara. Cowok itu hanya membiarkannya, pandangannya beralih ke luar jendela. Bara tidak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Dirinya terus memikirkan apa yang harus ia katakan saat bertemu ibunya nanti, apa yang ia harapkan dari bertemu ibunya. Bagaimana jika semua ini bukan memberi jawaban untuknya namun malah semakin menambah pedih hatinya?

Bara terkejut saat ia merasakan satu tangannya dipeluk erat oleh Rendra yang masih terlelap. Cowok itu pasti sedang memimpikan sesuatu, pikir Bara. Namun setidaknya hatinya terasa lebih tenang menyadari ia tidak sendirian.

Rumah itu berukuran kecil. Besarnya tidak melebihi setengah dari rumah yang ditempati Bara. Berkali-kali Bara memastikan alamat yang tertera di ponselnya sesuai dengan lokasi di mana kakinya berpijak sekarang.

“Kayaknya beneran ini rumahnya deh, Bar,” komentar Rendra.

Masalahnya sekarang adalah Bara seketika tidak memiliki nyali untuk mengetuk pintu rumah bercat putih itu. Bara tidak siap jika ada wajah lain yang menyambutnya dari balik pintu.

“Bar,” panggil Rendra, meyakinkan Bara kembali untuk segera mengetuk pintunya.

Bara melangkahkan kakinya mendekati pintu. Tangannya terangkat untuk memberikan ketukan pelan sebanyak tiga kali. Tidak ada jawaban. Bara mengangkat tangannya lagi untuk mengetuk namun pintu itu tiba-tiba dibuka dari dalam.

Seorang wanita berperawakan kecil, memakai atasan berwarna putih tulang serta rok selutut dengan motif bunga-bunga. Rambutnya yang hitam terikat rapi ke belakang. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut sekaligus bahagia kala ia melihat keberadaan Bara. Wajah yang kini jauh terlihat lebih banyak menyimpan beban namun wajah itulah yang selalu tersimpan di lubuk hati Bara yang paling dalam.

Jejak di Antara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang