Bab 30 - Rhy | Always & Forever

3.1K 384 6
                                    

Hai all! Kali ini aku mengupdate cerita di luar jadwalku yang biasa karena aku ingin segera menamatkan cerita ini supaya bisa fokus ke cerita selanjutnya.

Jangan lupa tinggalkan vote&komen kalian ya~

Dukung cerita ini juga dengan share ke teman-teman kalian juga ya ≧﹏≦

Happy reading^^

======================

Kedewasaan muncul saat seseorang belajar untuk peduli hanya pada sesuatu yang sangat berharga.
—Mark Manson

_______________________

1 tahun kemudian...

Pada hari di bulan Oktober
yang kering dan cerah, suasana kafe diramaikan oleh para remaja dan orang dewasa yang tengah menikmati gelato dan minuman dingin. Bunga-bunga Azalea mengharumi udara yang hangat. Aku melirik jam tanganku untuk yang keempat kalinya. Emily akhir-akhir ini sibuk hingga kadang datang terlambat pada kencan-kencan kami. Sekarang dia juga telambat menghadiri kencan 1 tahun hari jadi kami.

Emily baru saja menyelesaikan magang dan mempersiapkan dirinya untuk skripsi. Berkat bantuan ayah Valeria yang bekerja sebagai CEO, dia bisa mendapatkan magang dan pekerjaan dengan mudah. Hasil magang-nya selama tiga bulan ternyata memuaskan mereka. Mereka memberi-nya tawaran menjadi karyawan tetap di sana sesudah dia menyelesaikan skripsi.

Karena alasan magang dan skripsi, Emily memutuskan untuk berhenti bekerja di kafe. Dia juga berhenti tinggal di kos dan menumpang di rumah bibinya. Hal ini agak menyulitkan kami untuk bertemu, mengingat jarak ke rumah bibinya agak jauh, dan jadwal Emily dari senin sampai jumat padat. Pada akhirnya, kami hanya bisa bertemu saat akhir pekan dan tanggal merah saja.

Seorang gadis membuka pintu dan berlari tergesa-gesa. Itu Emily. Rambut panjangnya terurai dan agak berantakan. Dia selalu mengenakan hoddie abu-abu favoritnya hampir di setiap kencan kami. Celana jeans dan kaos seolah sudah menjadi seragam sehari-hari-nya. Inilah salah satu yang kucintai dari Emily. Di saat kebanyakan gadis akan mengubah penampilan mereka untuk memesona pacar mereka, dia justru tidak melakukannya.

Dulu, sebelum kami kembali bersama lagi, kadang aku menangkap tatapan irinya ketika melihat gadis yang berpakaian lebih feminin dari-nya. Sekarang dia sudah menyadari kalau tidak ada yang salah, ataupun memalukan dari gaya berpakaiannya itu. Dan aku bangga dengan kemajuannya ini.

"Maaf, aku terlambat lagi," seru Emily terengah-engah. Dia menarik kursi di seberangku. "Aku tadi ketiduran saat mengerjakan proposal," sambungnya di tengah napasnya yang memburu.

Kugenggam sebelah tangannya yang berada di atas meja lalu mengecupnya. "Nggak apa, aku juga sangat sibuk menjelang skripsi dulu," gumamku selembut madu.

"Makasih atas pengertiannya," balas Emily sedikit tersenyum. Alu mengirim pesan kepada Rayi untuk membawakan makanan yang sudah kubuat, lalu minuman favorit Emily. Angin meresahkan mulai bertiup,  tanaman di atap bergetar, dan menyebabkan dahan Azalea yang condong di atas pagar batu berderit mengikuti gerakan angin.

Kami berbincang-bincang sebentar hingga Rayi datang dengan senampan makanan dan squash strawberry kesukaan Emily. Ada burrito* isi daging ayam dan sayuran, serta kaserol sosis yang dilumuri lelehan keju mozarella di atasnya.

_____________________
*Burrito adalah salah satu makanan khas Meksiko. Makanan ini terdiri atas tortilla gandum yang diisi dengan berbagai macam daging seperti daging sapi, ayam atau babi. Daging- daging yang sudah dimasak ini digulung dengan tortilla.

Samar-samar aku mendengar suara gemuruh perut Emily yang terpancing dengan aroma sedap kaserol. Emily menyadari itu. Dia menatapku dengan rona merah yang cukup pekat di pipinya. "Makanlah," ujarku setengah geli. Emily menurut dan langsung memakan burrito. Dia tampak masih malu ketika menelan makanannya. "Aku hanya makan sedikit tadi pagi," gumamnya malu-malu.

"Sepertinya aku harus mengingatkanmu untuk makan," ucapku di tengah kunyahanku. "Kau kehilangan sedikit berat badan setelah selesai magang."

"Aku memang sengaja diet," tutur Emily. "Semenjak pacaran lagi denganmu, berat badanku naik. Pakaianku jadi nggak longgar lagi," lanjutnya dengan nada mengeluh.

Aku mengerjap beberapa kali. "Tapi kau justru terlihat semakin cantik dan menggairahkan," cerocosku dengan wajah sok polos. Emily melempar tisu yang sudah digumpalnya ke wajahku. Tawaku lepas seketika itu juga. Akhir-akhir ini aku jadi sering tertawa, tidak murung seperti dulu lagi. Banyak yang berubah sejak kematian Emma dan ibuku. Victoria pernah memberitahuku bahwa kehilangan membuat manusia menjadi lebih kuat. Tapi sayangnya, itu tidak sepenuhnya benar. Tidak sedikit orang yang tidak bisa menanggung kehilangan, dan memilih untuk mengakhiri rasa sakit itu dengan bunuh diri.

Apakah ini takdir atau bukan, atau pun masalah kesialan. Apa pun itu alasannya, aku tetap harus bertanggung jawab untuk mengatasi rasa sakit tersebut. Bukan hanya marah pada orang yang menabrak mobil Emma, bos ibuku, serta ayahku. Karena aku hanya mendapatkan sedikit, dan kehilangan begitu banyak ketika aku menyalahkan orang lain. Kehadiran Emily yang menerima keseluruhan hidupku, membuatku benar-benar merasa normal kembali.

"Besok hari minggu," gumamku setelah tawaku reda. "Mau nonton apa?"

"Twilight," jawab Emily cepat.

"Kau suka kisah vampir dan manusia serigala? Kukira kau nggak suka nonton film yang ada adegan berdarah."

"Twilight itu pengecualian. Aku penasaran bagimana kisah Bella dan Edward versi film, apakah sama serunya dengan versi novelnya. Saat SMP, aku pernah minta mamaku membelikan CD Twilight, tapi menurutnya aku masih belum cukup umur untuk menontonnya. Sekarang umurku sudah jauh dari cukup." Dia tampak antuasias setiap kali membicarakan novel kesukaannya. Mirip seperti Emma ketika menjelaskan tanaman favoritnya.

"Oke, nanti kita nonton itu," jawabku tidak seantusias Emily. Aku bukanlah pria yang menyukai film roman. Namun berhubung Emily sangat ingin menontonnya, dan dia lebih membutuhkan refreshing daripada aku, aku mengalah saja. Toh, keinginan terbesarku hanyalah merangkulnya dan menikmati ekspresi serius Emily—kadang ini agak membuatnya resah—ketika menonton film.

🦋🦋🦋

Besok paginya, pukul 10, Emily sudah tiba di rumahku. Ayahku sibuk di ruang kerja. Katanya ada sesuatu yang harus dikerjakan, tapi aku curiga dia hanya ingin memberikan kesempatan pada kami untuk berduaan. Aku bertanya-tanya, apakah melihat kebersamaanku dengan Emily membuat ayahku teringat dengan ibuku? Apakah itu sangat menyakitkan baginya ketika teringat kenangan yang tidak akan bisa dinikmatinya lagi?

Dulu aku merasa puas menyaksikan penderitaan ayahku ketika kehilangan ibu. Namun ketika Emily mengakhiri hubungan kami, aku sangat tersiksa dan berharap bisa memutar waktu kembali. Kini yang kurasakan hanyalah simpati yang tulus pada ayahku. Hanya karena ayahku sudah dewasa, itu tidak berarti dia tidak akan membuat kesalahan. Kadang orang tua tanpa sengaja menyakiti anak mereka. Kadang suami atau istri menyakiti pasangan mereka. Pada akhirnya, hanya ketika kita mengesampingkan ego kita dan berkompromi-lah yang dapat memperbaikinya.

Aku dan Emily duduk di sofa ruang tamu. Tatapan Emily terpaku pada layar TV, sementara aku sibuk menatapnya tanpa suara. Kadang aku merasa ekspresi serius-nya itu lucu, terutama ketika dia menangkap basah aku yang sedang menatapnya.

Hampir 1 jam berlalu, sekali-kali Emily menegurku agar berhenti menatapnya. Bel pintu menggema di sepanjang penjuru ruangan. "Lanjutkan saja," kataku. Aku beranjak menuju pintu sambil bertanya-tanya, apakah itu Tony yang ingin membahas tawaran endorse. Atau mungkin pegawai ayahku.

Terdengar suara decit pintu yang terbuka. Tampak seorang gadis berusia 20-an dengan gaun berwarna navy dan motif bunga sakura di daerah dadanya. Gaun itu pas di badannya yang langsing dan padat, menampakkan kaki putihnya yang mulus seperti cangkang telur. Rambut hitamnya panjang hingga menyentuh pinggangnya dan dibiarkan terurai. Gadis itu menatapku dengan sorot yang tidak kumengerti.

CONTINUED...

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang