Bab 23 - Emily | New Relationship

2.8K 416 11
                                    

Ketika Anda terlalu mengurusi segala hal... Anda akan senantiasa merasa bahwa Anda berhak merasa nyaman dan bahagia kapan saja, bahwa semuanya harus sama persis dengan apa yang Anda inginkan. Ini penyakit. Kau akan melihat setiap kesulitan sebagai suatu ketidakadilan, setiap tantangan sebagai sebuah kegagalan, setiap ketidaknyamanan terasa jadi masalah pribadi, setiap perbedaan pendapat sebagai sebuah penghianatan.
-Mark Manson

_________________________

"Jurnal yang Bapak maksud ini mirip seperti buku harian," jelas Pak Chandra. "Teknik ini untuk membantu kita mengubah apa yang biasanya merupakan subjek kesadaran kita menjadi objek kesadaran kita, sama seperti terapi dan meditasi. Kau akan melihat permasalahanmu, seolah kau adalah orang ketiga. Tapi menurut Bapak, ini bisa diimprovisasi jadi menulis cerita. Kamu bisa saja membuat cerita dengan konflik yang sedang kamu hadapi. Bagaimana? Ingin mencobanya?"

"Sepertinya menarik," hanya itu jawaban yang bisa kuberikan. Walaupun aku suka membaca cerita fiksi, tidak berarti aku suka menulis cerita, bahkan buku harian.

"Kalau tidak salah, kamu suka baca novel-kan?" tanya Pak Chandra.

Aku menggangguk sambil mengagumi ingatan Pak Chandra yang bagus walaupun usinya sudah paruh baya. "Nah, kenapa tidak sekalian menulis novel?" usul Pak Chandra.

"Itu terlalu sulit. Saya tidak pernah menulis novel bahkan buku harian," cetusku.

"Itu tidak masalah, ini hanya untuk terapi. Tapi Bapak sarankan agar kau menulis penyelesaian masalahnya dengan realistis. Tidak harus 100%, tapi usahakan masih ada unsur tersebut. Kalau tidak, terapi ini mungkin tidak akan berhasil."

"Akan saya coba," jawabku, setengah tidak yakin.

"Mungkin sebagian orang hanya ingin membaca tentang cerita kebahagiaan dan cinta klise," ucap Pak Chandra sebagai tambahan. "Tetapi ada jutaan orang yang telah melalui kisah pahit dalam hidup mereka, dan mungkin mereka ingin terhubung denganmu. Mungkin mereka akan melihat sebagian dari diri mereka ada dalam dirimu dan mungkin seseorang bisa belajar sesuatu dari kesalahanmu."

🦋🦋🦋

Awan-awan bergerak lambat di langit, suasana berubah redup
kemudian cerah kembali saat gumpalan-gumpalan tebal melewati bulan dan terus melaju. Hingga malam tiba, aku masih belum mengirim pesan untuk Rhy. Tidak ada kata-kata yang terlintas di kepalaku. Ponselku tergeletak di atas meja belajar. Rhy sempat memposting sebuah foto gondola di kota Venesia. Setidaknya aku tahu dia berada di sana bersama keluarganya.

Kenangan peristiwa sebelum hubunganku dengan Rhy kacau-balau, berputar dalam pikiranku tanpa diundang. Otomatis aku berusaha membendungnya. Tetapi masalahnya, aku ingin mengingatnya. Aku butuh
sesuatu yang membuatku tetap dekat dengannya. Kenangan kencan-kencan kami, pesan dan telepon, dan masih banyak lagi. Saat aku mengenangnya kembali, kepingan-kepingan memori itu ternyata jauh lebih indah dan manis dari yang kuduga.

Dering pesan masuk, membuyarkan lamunanku. Pesan dari Yenny.

Bisa ketemuan besok? Aku kangen saat-saat dulu kita nongkrong bareng.

Setelah menjawab ajakan Yenny, aku beranjak ke atas kasur. Sepanjang malam, aku mengamati hampir semua postingan foto Rhy di Instagramnya, termasuk foto-foto kami saat masih bersama dulu. Foto-foto itu bagaikan lagu nina bobo yang membuaiku ke dalam mimpi.

Keesokan harinya, matahari terasa lebih menyengat setelah beberapa hari hujan membasahi kota Malang. Yenny sudah menunggu di kantin kampusku yang lumayan ramai dengan sekaleng coca-cola di atas meja. "Hai," sapa Yenny riang. Namun keriangannya tidak seperti biasanya.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang