Epilog - Emily

8.1K 479 65
                                    

Playlist : River Flows in You (English Version)
🎶

---------------------------------

Suatu hari, ketika kita mengingat masa lalu, tahun-tahun yang penuh jerih payah akan berubah menjadi tahun-tahun yang paling indah.
—Sigmund Freud

_______________________

Hari kelulusan...

Ballroom hotel dipenuhi oleh para lulusan mahasiswa, bersama dengan keluarga mereka. Para lulusan sudah melepas jubah toga wisuda mereka. Sekarang para lulusan wanita dibalut oleh kebaya sementara para lulusan pria dibalut jas hitam. Hampir semua orang sibuk mengabadikan momen kelulusan ini ke dalam foto, begitu pula dengan orang tuaku.

Di samping mereka, berdiri sosok Rhy dengan kemeja hitamnya. Dia selalu tampak menawan dengan pakaian apa pun. Di tangannya, terdapat buket bunga Edelweiss putih pucat yang disatukan dengan pita putih. Rhy menyerahkan bunga itu padaku sambil tersenyum memesona. "Aku memilih bunga yang nggak bisa layu supaya kau bisa menyimpannya hingga puluhan tahun," gumamnya mesra.

"Ini cantik," tuturku penuh haru.

"Kau jauh lebih cantik," sahut Rhy sambil mengelus pipiku yang merona. Banyak orang bilang begitu sejak aku melepaskan jubah toga-ku. Kebaya ungu muda dengan hiasan renda kupu-kupu dan bunga, serta rok lilit motif batik yang kupakai inilah yang membuatku lebih cantik. Aku bersyukur kebaya ini masih belum disewa orang lain ketika melihatnya di salon bersama bibiku. Bibiku sendiri yang merekomendasikanku kebaya ini.

Rhy menyentuh kalung medali kelulusan di leherku. "Sekarang kau sudah bukan mahasiswi lagi," gumamnya dengan percikan pesona yang membuatku panas. "Kapan kau siap menikahiku?" Dia menatapku seolah hanya aku-lah yang menarik dan cantik di ballroom ini—mungkin juga di dunia ini. Dulu aku sering merasa tidak nyaman dengan tatapan memuja para pria. Namun tatapan Rhy lebih dari sekedar memuja. Dia seolah melihatku hingga menembus ke dalam diriku.

"Mungkin satu tahun lagi?" kataku, sengaja menggodanya.

Rhy mengangkat sebelah alisnya. "Lama sekali," rengeknya. "Kenapa nggak satu bulan lagi saja?"

"Karena aku ingin beradaptasi dengan dunia baruku dulu, khususnya dengan pekerjaan baruku," tuturku.

Rhy mendesah, "Baiklah. Kau yakin tetap memilih tawaran pekerjaan dari papaku? Bukan ayah Valeria?"

"Aku yakin," sahutku mantap. "Aku sudah melihat sendiri kesibukan para akuntan di perusahaan sebesar itu. Aku nggak yakin sanggup menanggung kesibukan seperti itu."

Pada akhirnya, aku memilih menjadi akuntan di bisnis kopi Papa Eddie—dia sendiri yang memintaku memanggilnya Papa Eddie. Gaji yang ditawarkan-nya tidak jauh berbeda dengan fresh graduate yang bekerja di perusahaan besar. Apalagi sekarang ini bisnis kopi Papa Eddie berkembang pesat. Kopi yang diproduksinya tidak hanya dijual ke seluruh Indonesia saja, melainkannya juga ke Malaysia dan Singapura. Orang tuaku agak kesal karena aku menolak tawaran ayah Valeria. Tapi sekarang aku sudah dewasa, dan aku sendiri yang akan menjalaninya, bukan mereka.

Semenjak Rhy yang mengambil alih bisnis kafe, dia mengembangkan Azalea Cafe dengan kompeten. Sekarang dia sudah memiliki modal sendiri untuk membuka cabang baru. "Yah itu lebih baik," kekeh Rhy.  "Jadi kita bisa berbulan madu lebih lama." Mata cokelatnya berkilat senang.

"Jangan minta yang aneh-aneh hanya karena dia papamu," aku terkekeh pelan.

"Kalian ini benar-benar membuat orang yang masih jomblo iri," Valeria menggerutu. Dia berada di sampingku seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. Kadang dia memang begitu setiap kali Rhy menggodaku. "Mau bagaimana lagi," Rhy mengeluarkan cengiran khas-nya. "Calon istriku ini membuatku tergila-gila padanya."

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang