"Lo dan Rhy jadi semakin dekat saja," gumam Diva. Diva sudah lama bekerja sebagai pramusaji di Azalea Cafe. Dia kuliah di kampus yang sama denganku dan sebentar lagi akan menjalani skripsi. Aku hampir tidak pernah berbicara dengannya karena kami jarang memiliki waktu bersama. Biasanya jam istirahat kami berbeda dan aku langsung pulang setelah jam kerjaku selesai. Aku tidak seperti pekerja lainnya yang menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sebelum pulang.
"Mm, begitulah," balasku apa adanya. Setelah selesai memasang celemek, aku berjalan menuju pintu. "Emi," seru Diva. Dia memotong jarak di antara kami dengan cepat. "Kapan-kapan kita makan bareng yuk!" ajaknya dengan antusias. "Sebentar lagi-kan liburan. Lo tetap di sini atau pulang?" tanyanya."Aku tetap di sini, tapi aku nggak bisa makan bareng kamu," jawabku.
"Kenapa?" timpal Diva kecewa. "Nanti aku traktir kok!"
"Ummm, entahlah. Mungkin kalau aku ada waktu." Sulit sekali menolak tanpa menyakitinya.
"Oke deh. Nanti lo juga bisa ajak pacar lo." Suaranya berubah antusias. Uh, ternyata dia ingin bisa dekat dengan Rhy melalui aku. "Maaf, tapi aku nggak bisa," tegasku. "Aku baru ingat kalau aku bakal sering makan dengan Rhy. Dia lebih senang memasak sendiri daripada makan di luar."
"Wah, enaknya. Kapan-kapan ajak aku juga dong," pinta Diva dengan puppy eyes-nya. Jangan harap itu akan mempengaruhiku. "Maaf, tapi Rhy hanya akan mengajak temannya saja. Permisi," balasku sesopan mungkin. Aku tidak mengubris panggilan Diva dan langsung berlari menuju konter. Ada tiga anak remaja yang memasuki kafe sehingga Diva tidak bisa mengajakku ngobrol.
Sejak aku dan Rhy pura-pura pacaran, kami sering jadi topik gosipan di kafe ini. Walaupun para pekerja di sini berusaha agar tidak ketahuan, aku tetap dapat merasakannya saat aku menatap mereka bercakap-cakap, dan mereka tiba-tiba diam ketika melihatku. Sudah kuduga menjadi pacar Rhy itu sangat mengganggu. Aku tidak suka jadi bahan gosipan. Namun aku tidak mau kalah dengan mantan Rhy. Jika dia saja bisa bertahan menghadapi gosipan, maka aku pasti bisa.
Namun tiba-tiba sikap optimisku itu berubah jadi pesimis saat aku tidak sengaja mendengar omongan Diva dengan pramusaji lain. "Emi jadi semakin sombong setelah pacaran dengan Rhy. Tadi aku ngajak dia makan bareng tapi malah ditolak," dengus Diva saat aku mau mengantar kertas pesanan ke juru masak. Aku tidak tahu apakah dia menyadari kehadiranku atau mungkin dia berpura-pura tidak menyadarinya. "Ih, wajar aja dia jadi makin sombong. Saat belum pacaran dengan Rhy aja dia sudah sombong. Apalagi kalau jadi pacar Rhy," Eka balas berbisik.
Saat Eka menoleh ke arahku, tidak ada ketakutan maupun penyesalan di wajahnya. Begitu pula Diva. Sepertinya mereka memang tidak peduli kalau aku mendengarnya. Kupasang wajah datar yang sudah jadi topeng kesukaanku. Aku juga mengatur wajahku bagai cermin es, raut tanpa perasaan yang menyamai ekspresi sosok dingin tak berperasaan. Diva dan Eka beringsut tak nyaman lalu mengganti topik.
Mungkin terdengar kejam jika aku mengutuk Eka menjadi pramusaji seumur hidupnya. Yang kutahu, dia lulusan sarjana ekonomi namun dia tidak pernah lolos wawancara kerja. Dulu aku bersimpati dengannya, sekarang simpatiku digantikan perasaan tidak suka.
"Hei, putri es," seru Rhy saat aku menyerahkan kertas pesanan.
"Apa?!" geramku.
Rhy mengerjap beberapa kali sebelum membalas, "Emosian sekali. Lagi PMS ya?"
Kuingat kembali kapan datang bulanku. "Nggak kok," semburku merajuk. "Cepat buat saja makanannya," tambahku dengan ketus. Aku pun meninggalkan Rhy yang masih terpana melihat sikapku yang tak biasa. Kuhembuskan napas berkali-kali hingga emosiku kembali tenang. Tidak akan kubiarkan mereka merusak mood-ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Butterfly🦋
General Fiction🏆The Wattys Award Winner 2021 (Indonesia), New Adult Sempat menduduki rank : 🥇#1 pengembangan diri dari 140 cerita ============== Perfect Butterfly🦋 ⓒ2021, by Violette [Author of Wattys Winner 2020&2021] New Adult Romance 𝑺𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒌𝒖𝒑𝒖...