Bab 30.5 - Rhy | Always & Forever

4.8K 480 21
                                    

Butuh waktu beberapa detik untuk mengenali sosok Victoria yang lebih dewasa. Dia masih sama feminin-nya, bahkan jauh lebih cantik—kecantikkan khas wanita dewasa. Aku masih ingat betapa terpikatnya aku dulu dengan kecantikannya. "Rhy," suara Victoria lembut sekaligus ragu. Mendengar suaranya memicu kepedihan nostalgia akan kehidupan kami dulu, sebelum Emma tewas dan segalanya berantakan.

"Untuk apa kau kemari? Bagaimana kau bisa melewati pagar? Padahal aku sudah menguncinya," gumamku dingin.

Victoria berdiri canggung di hadapanku. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas selempang kecilnya. Sebuah kunci. Dulu aku sengaja memberikannya supaya aku tidak perlu repot-repot lagi keluar rumah untuk membuka pagar. Saat ini hanya Tony dan Audrey yang kuberikan hak untuk memegang kunci. Aku sudah lupa kalau Victoria masih menyimpannya.

Tanpa berbicara, aku mengambil kunci itu dari tangannya. "Pulanglah," gumamku datar.

Victoria menatapku sejenak. Tingginya hampir sejajar denganku berkat high heels-nya. "Rhy," lirih Victoria. Aku tahu dia sakit hati dengan sikap cuek-ku, tapi aku tidak mau repot-repot untuk berpura-pura ramah padanya ketika kekecewaan-ku masih belum sirna. "Aku minta maaf," lanjutnya berupa lirihan. "Seharusnya aku tetap di sisimu saat itu. Aku...."

"Kenapa baru sekarang, Vi?" selaku dipenuhi gejolak emosi di dalam hatiku. Di saat semuanya sudah terlambat. "Apa ini ada kaitannya dengan pertunanganmu yang dibatalkan itu?"

Victoria tersentak mendengar tuduhanku. "Dari mana kau tahu?" tanyanya tajam.

Aku mengangkat bahu ketika berkata, "Hampir semua teman-teman seangkatan kita menggosipkannya saat acara reunian. Aku kebetulan mendengarnya."

"Kau—kau datang ke acara reunian itu? Tapi—aku nggak melihatmu."

"Tentu saja aku datang. Tempat itu-kan diadakan di kafe papaku," sahutku dengan topeng pangeran es yang tak peduli dengan perasaan lawan bicaranya.

Victoria tampak semakin tak nyaman. "Kau sengaja menghindariku?" tuturnya sedih.

Aku menatapnya seolah dia menanyakan hal bodoh. "Aku datang di saat-saat terakhir. Aku terlalu sibuk di dapur dan nggak berniat datang, tapi Tony berhasil membuatku tak nyaman kalau aku nggak menemui teman-teman SMK-ku," jelasku dengan nada menyudahi percakapan tentang masalah reunian.

"Oh, begitu," ucap Victoria lega. "Aku pulang lebih cepat. Kalau aku tahu kau ada di dapur, aku pasti sudah menemuimu."

"Mungkin," gumamku, tidak yakin dengan kepercayaan dirinya.

"Aku bertemu dengan papamu seminggu yang lalu. Dia bilang kamu nggak ada di kafe. Aku ada menitipkan nomor baruku dan memintanya untuk menyampaikan pesan dariku kepadamu. Aku menunggumu berhari-hari, tapi kamu nggak menghubungiku."

Siapa pun yang melihatnya mungkin akan merasa iba. Tapi aku sungguh tidak merasakan belas kasihan sedikit pun. "Menurutmu," kataku berusaha menekan amarah. "Bagaimana perasaanku ketika kau memutuskanku, membuangku seolah aku ini hanyalah barang yang sudah rusak dan nggak bisa diperbaiki lagi? Kau melakukannya di saat aku sangat membutuhkanmu. Dan kau nggak ada di sana selama masa terberatku. Aku menghadapi semuanya tanpa kau. Lalu, sekarang kenapa kau kembali? Sudah berapa lama? Tujuh tahun? Dan kau baru menemuiku sekarang."

"Kamu nggak bisa melimpahkan semua kesalahan padaku," tukasnya tak terima. "Kamu nggak pernah menghubungiku lagi semenjak malam pertamamu di Boston, padahal kau berjanji akan menelponku lagi. Aku menunggu teleponmu berhari-hari. Kau juga nggak membalas pesanku. Lalu tiba-tiba kau menelponku dan menceritakan betapa rusaknya dirinu. Bukankah wajar kalau aku meninggalkanmu dan mencari pria yang lebih baik? Kau tahu sendiri-kan seperti apa orang tuaku? Mereka nggak mau aku berhubungan dengan pria yang nggak baik."

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang