Bab 22 - Emily | The Piece of Rhy's Past

2.6K 385 7
                                    

"Kau tidak bercandakan?" ujarku sambil melototinya.

Leo tampak sedikit tersinggung. "Apa aku kelihatan sedang bercanda?" hardik Leo kesal.

"Tidak," balasku setelah memperhatikan raut wajah Leo yang serius. "Hanya saja... sulit sekali untuk percaya. Rhy sangat dewasa, rasanya aneh sekali kalau dia dulunya pecandu narkoba."

"Menurutku, itu tidak terlalu aneh," gumam Leo pelan. "Justru karena itulah kenapa Rhy bisa menjadi sosok Rhy yang sekarang ini. Pengalaman buruk membuat kita mendapatkan lebih banyak pelajaran berharga."

"Aku baru tahu kau bisa sebijak ini," sahutku, sedikit terpana.

Leo mengangkat sebelah alisnya. "Tentu saja aku bisa, aku ini sudah dewasa tahu," kata Leo pongah.

"Ceritakan detailnya," pintaku.

"Kau tahu kalau mama Rhy sudah meninggal-kan?" tanya Leo. Aku menggangguk sebagai jawaban. "Apa kau tahu apa penyebabnya?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Rhy nggak ada cerita."

"Semenjak Lucia—mama Rhy kehilangan putri sulungnya, dia mengalami depresi berat. Kabarnya, dia bunuh diri di kamar tidurnya. Parahnya lagi, Rhy sendiri yang pertama kali menemukan mayat ibunya."

"Apa!" pekikku.

"Sssttt..." bisik Leo. "Ini rahasia. Tidak ada yang tahu kecuali keluarga. Orang lain mengira Lucia meninggal karena penyakit jantungnya, padahal sebenarnya dia meninggal karena over dosis obat jantung yang diminumnya. Dokter bilang, obat Digoxin yang diminumnya terlalu banyak, tidak sesuai dengan dosis yang sudah dia anjurkan."

"Tapi—kenapa? Kenapa dia melakukan itu?" Suaraku terdengar menyedihkan. Rhy. Rhy sendiri yang menemukan ibunya mati dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Dia kehilangan putri kesayangannya—Emma. Aku tidak yakin apa alasannya, tapi yang kudengar, Lucia mengalami depresi berat semenjak kecelakaan yang menewaskan Emma. Kudengar Lucia juga kehilangan pekerjaannya dan hubungannya dengan suaminya merenggang. Kurasa dia tidak sanggup menanggung semua itu lalu bunuh diri."

"Apa sejak itu—Rhy jadi pecandu?" tanyaku berupa lirihan.

"Iya," desah Leo berat. "Itu masa terberatnya. Eddie membawanya liburan ke Amerika. Dia pikir dengan berlibur ke tempat baru bisa membuat Rhy pulih. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tinggal di rumah sahabat Eddie. Sahabat Eddie ini juga punya seorang anak remaja laki-laki. Yang kudengar, dia mengajak Rhy ke apartemen temannya. Temannya itu diam-diam menyimpan tablet morfin dan menawarkannya ke Rhy. Rhy saat itu senang menyakiti dirinya sendiri. Aku tidak heran kalau dia menerima obat itu begitu saja."

Leo mendongak, menatapku. Matanya sorot dengan kesedihan. "Kudengar, Rhy berencana bunuh diri. Syukurnya anak sahabat Eddie ini pulang lebih cepat. Dia mengagalkan bunuh diri tersebut. Kabar ini terdengar oleh keluargaku. Saat itu adik Rhy tinggal di rumah kami.  Tidak lama kemudian, terjadi sesuatu pada Vannesa. Dia juga bunuh diri dengan melompat dari balkon kamarnya."

Napasku tersekat mendengarnya. Ada apa sih dengan mereka ini? Kenapa mereka ini malah memilih mengakhiri hidup mereka? "Tapi—Rhy pernah bilang padaku, kalau sekarang adiknya tinggal di Italia. Tapi kau bilang—kalau dia bunuh diri," ujarku bingung.

"Adiknya berhasil diselamatkan," timpal Leo. "Tapi dia—dia tidak seperti dulu lagi. Tulang kakinya hancur karena terhantam terlalu keras sehingga harus diamputasi. Kepalanya juga terbentur keras. Ada gangguan pada otaknya. Ini membuat matanya buta dan psikologinya terganggu. Saat tantrumnya* kambuh, emosinya tidak terkendali bahkan kadang dia melukai dirinya sendiri. Kadang dia juga menangis di malam hari. Biasanya hanya Rhy dan psikiater yang dapat menenangkannya. Aku bahkan tidak berani bertemu dengannya lagi semenjak dia memecahkan jendela kamarnya."

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang