Bab 24 - Emily | Chance

2.7K 407 7
                                    

Butuh banyak waktu untuk menumbuhkan cinta sejati
_________________________

Oktober, Malang

Suasana super market lumayan ramai di siang hari. Aroma sabun berbaur dengan udara saat Olivia, sepupuku, dan aku berada di depan rak yang dijejeri sabun. "Menurutmu, lebih wangi sakura atau teh hijau?" tanya Olivia sambil menunjuk sabun Shinzui di hadapannya.

"Kurasa sakura. Sakura-kan bunga, aromanya pasti lebih wangi," jawabku. Olivia mengambil sebungkus Shinzui dengan gambar bunga sakura tanpa berpikir dua kali. Berikutnya kami membeli sayuran untuk membuat cap cay dan daging sapi untuk bistik. Suara roda troli yang berputar menjadi musik yang mendegung di telingaku.

Sementara Olivia memilah sayuran, aku mengamati orang-orang di sekitarku yang juga sibuk membeli bahan masakan. Ada sepasang suami-istri yang sibuk memilih tumpukan buah pisang. Tatapanku beralih ke tempat ikan mentah dipajang. Ada seorang pria berjaket hitam yang sibuk memilih ikan mana yang bagus.

Rambutnya disemir cokelat gelap hingga nyaris hitam. Saat sosok itu berbalik untuk meletakkan ikan pilihannya di troli, tubuhku mendadak kaku. Rhy. Rhy ada di sini. Seutas sulur kepanikan membuka seperti sehelai daun di dalam dadaku. Sudah 6 bulan sejak aku mengirim pesan padanya lewat Instagram. Aku tidak terkejut kalau dia tidak mengubris pesanku.

Instingku meraung untuk kabur sebelum Rhy melihatku. "Oliv," seruku. Mendengar kepanikanku, Olivia langsung menoleh. "Biar aku saja yang beli bumbunya," sambungku tergesa-gesa.

"Oh, oke. Ini ambil saja kertasnya," ujar Olivia sambil menyodorkan kertas kecil berisi daftar belanjaan yang ditulis dengan rapi oleh bibiku. "Aku segera kembali," semburku sambil mengambil kertas itu. Tanpa kusadari, kedua kakiku berlari. Beberapa orang melirikku saat aku melewati mereka.

Jarak antara rak yang dipenuhi bumbu masakan dengan ikan mentah tidak terlalu jauh. Aku masih bisa melihat Rhy dari jarak jauh. Dia masih di sana, kembali sibuk memilah ikan. Entah berapa detik berlalu, aku masih terus mengamatinya dari jarak jauh. Seolah merasa diperhatikan, Rhy menoleh tepat ke arahku. Namun aku sudah bersembunyi di balik rak.

Jantungku berdegup begitu kencang hingga membuatku sulit bernapas. Khawatir Rhy menuju kemari, kupaksakan kakiku berjalan. Aku berusaha menahan diri untuk tidak berlari, tidak ingin menarik perhatian orang-orang lagi. Saat ingin berbelok, pekikan kecil lolos dari mulutku ketika aku menabrak seseorang. Badannya lebih tinggi dariku sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Namun aku tidak perlu mendongak untuk melihatnya.

Kurasakan kedua tangan yang tidak asing lagi menahan sikuku agar tidak jatuh. Tiap degup jantung kami makin berpacu cepat seiring tarikan napas. "Emi," desah Rhy, lega sekaligus bingung. Aku tak mempercayai aliran emosi yang bergetar dalam diriku—hanya karena dia kebetulan menatapku untuk pertama kalinya setelah 8 bulan lamanya.

"Maaf," ujarku sedikit terengah-engah.

Rhy menunduk menatapku, tatapannya di luar dugaanku, lembut sekaligus rindu. Tidak ada kebencian maupun kemarahan. Namun benarkah itu? Atau itu semua palsu? Kalau dia merindukanku, kenapa dia tidak menghiraukan pesanku? Tatapannya lembut tapi dalam dan sepertinya membuatku lemah.

"Aku merasa ada yang mengawasiku," Rhy mulai bersuara. "Apa itu kau?" tanyanya ragu.

Kepalaku seketika langsung menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang memerah. Aku tidak meresponnya. Haruskah aku jujur? Namun berbohong tidak ada gunanya. Tidak ada orang selain aku di sini. Tidak pernah aku secanggung ini dengan Rhy. Aku ingin di antara kami menjadi santai seperti dulu lagi. "Emi," panggil Rhy selembut madu. "Kau masih marah padaku?" tanyanya sambil mengangkat daguku.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang