Bab 6 - Emily | Heartache

4.1K 536 5
                                    

"Kadang-kadang pada jalur menuju kesembuhan yang berbatu-batu dan berangin kencang, apa yang tampak sebagai kegagalan sebenarnya adalah langkah maju."
Matt Haig

_________________________

Aku membeku di kursi, tidak tahu harus berbuat apa. Dia ada di sini. Dia ada di sini, seruku dalam hati. Rhy sepertinya menyadari kepanikanku. Dia memalingkan wajahnya, mengikuti pandanganku. Ekspresi Andika yang awalnya agak syok berubah sekeras granit. Dia mendekati kami dengan langkah gusar. Tatapannya beralih dari aku dan Rhy. Dia terus memandangi kami bergiliran.

"Benar bukan dugaanku!" hardiknya keras. "Kau selama ini menyukai pria lain lalu memutuskanku. Kau bahkan sudah mulai pacaran padahal kita baru putus 2 bulan!" Kulit putihnya berubah kemerahan. Kemurkaan merasukinya layaknya hantu. Aku tidak pernah melihatnya semurka ini kecuali saat aku memutuskannya.

"Kami tidak pacaran," bantahku berupa bisikan. Entah kenapa perkataannya sangat menyayat hatiku. Kenapa dia selalu berpikiran negatif? Apa artinya kata I love you yang dulu dia ucapkan padaku jika dia tidak pernah mempercayaiku dan sering menuduhku tanpa mendengarkan penjelasanku? Air mata mulai menumpuk di mataku.

Aku nyaris saja memekik saat Andika mendebrak meja. Suara dentuman piring porselen menggema di telingaku, menarik perhatian para pengunjung. "Jangan membohongiku!" geramnya. "Sejak kapan kau suka pergi makan di luar bersama seorang pria?!"

"Hey, bisakah kau tenang dulu, Bung?" ujar Rhy dengan ketenangan yang membuatku kagum. "Kau menganggu para pengunjung di sini. Tolong kecilkan suaramu dan jangan memukul meja lagi," ancam Rhy dengan halus.

Andika melotot ke arah Rhy. "Jangan berani bicara. Kau hanya akan membantunya untuk berbohong agar aku nggak tahu kalau dia selingkuh denganmu!" tuduh Andika. Kata-kata itu menusuk dadaku tanpa peringatan. Aku menundukkan kepala, malu dengan tatapan para pengunjung. Saat inilah aku menyesal tidak mengurai rambutku.

"Dia nggak menghianatimu," sergah Rhy pelan namun tegas. "Kalian sudah putus 2 bulan yang lalu. Tidak ada yang salah kalau dia memulai hubungan baru."

"Rhy," bisikku, berusaha untuk memperingatkannya agar tidak memancing emosi Andika lagi.

"Dika," sahut salah satu teman Andika. "Ayo kita pergi saja. Lo membuat orang lain terganggu," ujarnya berusaha menahan malu sepertiku juga.

"Tidak perlu," ujar Rhy sebelum Andika sempat menyahut. "Kami juga sudah selesai. Ayo Emily." Rhy meraih tanganku yang sedikit bergetar di atas meja.

"Tunggu," ujar Andika setengah berbisik. "Apa kau lebih menyukainya daripada aku?" Suaranya terdengar getir sekaligus marah. Aku memilih untuk mengabaikannya, membiarkan Rhy menggiringku pergi.

Rhy menggiringku ke ruang istirahat. Sepuluh menit lagi jam kerjaku dimulai. Aku membersihkan setetes air mata yang jatuh begitu saja. Rhy masih meletakkan tangannya di pinggangku. Aku sedikit terkejut saat dia berdiri di hadapanku lalu meletakkan sebelah tangannya di belakang kepalaku. Sebelah tangannya berada di pinggangku. "Menangislah, Emi. Aku tahu kau sudah menahannya dari tadi," gumamnya lembut dan hangat.

Seketika itu juga dinding pertahananku hancur. Aku menangis tersedu-sedu di pelukannya. Kusandarkan dahiku di pundaknya yang keras dan hangat. Kugigit bibirku untuk menahan isakanku hingga bibirku terasa sakit.

Entah berapa lama waktu berlalu, aku sudah mulai tenang di pelukannya. "Sudah selesai?" tanyanya lembut. Aku mengangguk lemah. Air mataku masih mengalir namun sudah tidak sederas sebelumnya. Lalu aku merasakan sesuatu yang sedikit basah menempel di kedua kelopak mataku. Lembut sekaligus hangat. Butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang baru saja terjadi. "Apa yang kau lakukan?!" ujarku setengah histerisku. Aku langsung melepaskan diri dari pelukannya sambil mengusap mataku dengan punggung tanganku.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang