Bab 7 - Emily | Apple Garden

3.9K 527 18
                                    

"Memilih pasangan itu bukan memilih seseorang yang
membuat Anda bahagia setiap saat. Melainkan memilih seseorang yang Anda ingin bersama dengannya bahkan ketika dia membuat Anda marah."
Mark Manson

______________________

Kebun itu sangat luas. Hampir tiap sudut dijejeri pohon apel khas Malang. Sebagian pohonnya masih belum terlalu besar. Aku sibuk mengamati tiap sudut hingga tatapanku menangkap jejeran pohon jeruk dan jambu merah berukuran sedang. "Di sini bukan hanya ada pohon apel," gumamku setengah melamun.

Rhy mengikuti tatapanku. "Ya, tapi mayoritas pohon di sini apel. Ada juga strawberry tapi sepertinya tanamannya masih kecil," terang Rhy di sebelahku.

Kami terus menyusuri pepohonan yang dipenuhi apel hijau. "Apa ini Apel Manalagi?" tanyaku.

Rhy mengangguk singkat. "Ini kawasan untuk Apel Manalagi. Di sebelah sana ada kawasan Apel Anna, Hwang lien, Smith dan Grany. Kita boleh mengambil 2 apel gratis di sini. Kalau lebih dari itu kita harus bayar," jelas Rhy.

"Sungguh?" tanyaku tak percaya.

Rhy mengangguk mantap. "Pak Thio berpesan begitu. Katanya sebagai balas budi karena aku mau membuat video di sini."

Kami terus berjalan dalam keheningan yang nyaman. Sekali-kali kami menyentuh daun dan apel yang menggantung di pohon. "Mau berfoto?" tawar Rhy. Aku langsung menyetujui. Rhy memotretku dengan ponselnya seolah-olah itu telah menjadi profesinya. "Kau nggak mau berfoto?" tanyaku.

Rhy menggeleng. "Aku sudah banyak berfoto di kawasan ini. Aku akan berfoto di daerah lain," katanya di antara angin dingin yang mengigit wajah dan tanganku.

"Kau kedinginan," cetus Rhy. Dia menarik kedua tanganku dari kantong hoddie-ku yang tak sanggup menghalangi hawa dingin. Pipiku memanas saat Rhy mengarahkan kedua tanganku ke mulutnya lalu mengembus napas hangatnya. "Lebih baik?" Suaranya terdengar mesra di telingaku, membuatku semakin tersipu. Aku hanya mengangguk singkat.

"Kau nggak kedinginan?" tanyaku datar. Kedua tangan Rhy tidak sedingin tanganku, bahkan rasanya lumayan hangat. "Well, sepertinya jaketku membuatku tidak terlalu merasa dingin. Apalagi aku lumayan sering pergi ke luar negeri dan pengunungan. Jadi aku sudah terbiasa dengan hawa dingin," ungkapnya.

Aku hanya menjawab oh. Tiba-tiba tangan Rhy yang lebih besar dari tanganku melingkar di pinggangku. Aku tersentak merasakan sentuhan itu. "Jangan sentuh aku di situ," ujarku nyaris berteriak.

"Oke,oke maaf," katanya sambil melepaskan tangannya. "Aku nggak tahu kau sensitif di bagian samping pinggang," ujarnya sambil terkekeh geli. Aku menatapnya tajam, terutama saat aku merasakan tangannya di pundakku. "Di sini lebih baik bukan? Kita bisa memanfaatkan hawa panas tubuh kita, dengan syarat kita harus berdekatan. Aku nggak mau besok kau terserang pilek atau flu," katanya, mengajakku berkompromi.

Aku berusaha tidak memikirkan rasa nyaman karena sentuhannya saat aku berkata dengan suara tenang dan tegas yang hampir tak kukenali, "Baiklah. Tapi nggak lebih."

"Oke," jawabnya singkat.

Lalu kami berjalan dengan lengan Rhy merangkul-ku. Rhy meletakkan sebelah tanganku di pinggangnya sedangkan sebelahnya lagi berada di dalam genggaman Rhy. Aku berusaha menciptakan jarak di antara kami namun tubuhku tidak mau berkompromi. Tubuh Rhy memancarkan kehangatan yang menarikku seperti magnet. Baiklah, hanya sekali ini saja, benakku berkata. Jika kuingat-ingat lagi, aku dan Andika tidak pernah sedekat ini. Kami hanya sebatas bergandengan tangan saja. Pernah sekali dia merangkul pundakku saat aku kelelahan. Namun rasanya tidak senyaman ini.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang