Bab 1 - Emily | Dark Sky

15.8K 1.2K 13
                                    

Tidak ada bintang maupun bulan yang menyinari langit. Hanya ada lautan hitam yang pekat di atas sana. Udara dingin menembus hoddie-ku yang tipis. Setelah melewati halaman parkir kafe—tempatku bekerja, aku mengumpat tanpa suara. Ban kendaraanku yang harus diperbaikilah yang menjadi penyebab aku harus berjalan kaki menuju kosku.


Aku meneruskan langkahku menuju pagar yang terbuka lebar. Azalea Cafe buka hingga pukul 10 malam. Suasananya lumayan ramai meskipun jam sudah menunjuk pukul 20.15.

Seorang pria muda baru saja melewati pagar. Dia berjalan dengan santai sambil memasukan kedua tangannya ke dalam kantong jaket biru malamnya. Saat menyadari keberadaanku yang sebentar lagi akan melewatinya, tatapannya terkunci padaku. Meskipun dalam suasana yang kurang terang, aku masih dapat melihat warna matanya yang cokelat keemasan.

Rambutnya berwarna cokelat yang nyaris mendekati hitam dan dipotong pendek Aku tidak ingat, apa aku pernah bertemu pria setampannya. Umurnya mungkin sekitar awal 20 tahun.

Meskipun aku sudah berusaha untuk memasang ekspresi datar, namun dia sepertinya menyadari kekagumanku. "Hai," sapanya. Suara maskulinnya terdengar sedikit berat di telingaku. "Kau pekerja di kafe ini bukan?" tanyanya dengan ekspresi ramah.

Aku sempat bingung harus berkata apa. Merasa aneh, aku pun memasang tameng kewaspadaanku. "Iya, aku baru saja selesai bekerja. Kenapa?" balasku datar. Ini sudah jadi ciri khasku. Suara datar, ekspresi datar, dan bahasa tubuh yang kaku.

Senyum tipis terbit di wajah tampannya. Apa yang lucu? Dia sepertinya menyadari kebingunganku. "Namaku Rhy. Aku anak dari pemilik kafe ini," ujarnya sambil mengedikkan kepalanya ke papan besar yang bertuliskan Azalea berwarna merah dan disinari cahaya kekuningan.

Aku masih ingat saat bosku mengatakan bahwa dia memiliki seorang anak laki-laki yang sebentar lagi akan lulus kuliah. Aku sama sekali tidak menyangka dialah orangnya. Sekilas, wajahnya lebih mirip orang Italia daripada Indonesia. Sepertinya dia lebih mirip ibunya yang berasal dari Italia. Berbeda dengan ayahnya yang asli orang Indonesia.

"Ah, jadi kau orangnya ya. Maafkan, aku nggak tahu," balasku sedikit gugup. Entah kenapa, jantungku sedikit berdebar saat melihat wajahnya. Yah, ini wajar saja. Bagaimanapun juga, dia adalah pria paling tampan yang pernah kulihat secara langsung.

"Nggak papa. Aku juga hanya pernah melihat wajahmu dari foto di formulir yang kau isi," katanya santai. Aku tidak menjawabnya. Dia lalu bergumam, "Apa kau pulang jalan kaki?"

"Iya, ban kendaraanku rusak. Aku baru bisa memperbaikinya besok pagi." Syukurlah besok jam kuliahku agak siang.

"Mau kuantar? Aku bisa meminjam kendaraan milik papaku," katanya.

"Tidak," sahutku cepat. "Jarak kosku nggak jauh dari sini. Mungkin sekitar 13 sampai 15 menit sudah sampai."

Sebelah alis Rhy terangkat sedikit, "Aku bukan bermaksud merendahkanmu. Tidak aman jika kau berjalan kaki sendirian di malam hari. Apalagi kau perempuan. Apa kau tidak tahu, ada berapa banyak peluang kau akan bertemu dengan pria yang ingin menyakitimu?"

"Aku akan berhati-hati. Nggak perlu khawatir."

"Kau yakin nggak mau kuantar?"

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Rhy menghela napas lalu berkata, "Baiklah, aku nggak memaksamu. Hati-hati ya. Sampai jumpa lagi." Dia lalu melewatiku.

Setelah beberapa detik, aku masih bergeming di tempatku. Sejenak, aku memalingkan kepalaku untuk menatap punggung pria itu sampai dia memasuki kafe. Baiklah, kuakui aku takut jalan kaki sendirian di malam hari. Namun aku juga tidak tahu, apakah pria itu dapat dipercaya. Bagaimana kalau akhirnya Rhy yang malah menyakitiku? Aku membenarkan tudung hoddie abu-abu mudaku lalu beranjak pergi.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang