Bab 11 - Emily | Not My Real Boyfriend

3.2K 434 5
                                    

Tatapanku membeku pada sosok pria paruh baya di ambang pintu. "Pak, kami...." Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, Pak Eddie menyela, "Rhy, walaupun kau anakku, bukan berarti kau boleh diam-diam bermesraan di sini."

Warna merah merambat dengan cepat di pipiku sementara Rhy terkekeh geli di hadapanku. "Yeah, aku janji nggak akan mengulanginya lagi," kekeh Rhy.

Pak Eddie melayangkan senyum lalu menatapku. "Kuharap kau betah jadi pacar anakku, Emi. Jangan segan memarahinya kalau dia pantas mendapatkannya. Itu nggak akan memengaruhi gajimu, kok." Suara Pak Eddie dipenuhi nada humor yang tidak pernah kudengar sebelumnya.

Aku hanya mengganguk, tak sanggup bersuara. "Ngomong-ngomong," ucap Rhy. "Apa yang Papa lakukan di sini? Bukannya Papa seharusnya ke kebun kopi?"

"Papa mau ngambil pembukuan keuangan produksi kopi. Sepertinya buku itu ketinggalan di sini. Bonusnya, Papa juga menangkap basah kalian bermesraan di sini," jawab Pak Eddie sambil menggelengkan kepala. Setelah berbasa-basi sebentar dengan Rhy, Pak Eddie pun pergi meninggalkan kami.

"Ngga susahkan," goda Rhy.

Aku mendonggakkan kepalaku. Baru kusadari jarak di antara kami terlalu dekat. Seperti kucing yang disiram air, aku langsung menjauhkan diri dari tubuhnya. "Ya," gumamku setelah menarik napas panjang. "Sepertinya Pak Eddie nggak perlu dikhawatirkan. Tapi aku nggak tahu bagaimana dengan orang lain, termasuk teman-teman sekelasku. Beberapa dari mereka ada yang sudah menonton video kita."

"Ah, mengenai itu nanti kita akan mencobanya saat teman-temanku datang." Rasa lega yang sempat kurasakan tadi sirna ketika Rhy menyelesaikan perkataannya.

"Apa maksudmu?" desisku.

"Mereka rekan kerjaku dan teman kuliahku. Audrey juga akan datang. Dia penasaran sekali denganmu. Aku menunggumu dari tadi untuk menjelaskan ini," jelasnya enteng.

Aku menatapnya gusar. Kemarahan meledak dalam diriku. Kuusahakan untuk mengontrol volume suaraku saat berkata, "Ini terlalu mendadak. Aku tidak siap!" Lalu aku pun beranjak menuju lemari kecil. Saat aku memakai celemekku, Rhy bergumam tenang. "Emi, aku tahu ini berat bagimu, tapi tolong jangan menyerah dulu. Mereka nggak akan menguras pertanyaan darimu seperti serigala yang kelaparan. Aku juga akan mendampingimu jadi tak perlu khawatir."

"Rhy," ujarku pahit. "Aku nggak berani menjamin kita nggak akan ketahuan. Aktingku payah sekali."

"Oh, nggak juga. Aktingmu lumayan bagus kok tadi. Ekspresi syokmu membuat papaku mengira kita diam-diam bermesraan di sini. Kau lihat sendirikan papaku percaya begitu saja." Aku memilih tidak meresponnya. Kulirik jam dinding yang sebentar lagi menunjuk pukul 11. "Aku harus pergi," lirihku. Saat aku hendak melewatinya, Rhy mencengkram lenganku. Tidak terlalu kuat, namun cukup untuk membuat kakiku berhenti.

"Emi, aku janji akan mendukungmu tepat di sisimu. Kau nggak menghadapinya sendiri. Plis, sekali ini saja," pintanya lembut. Bagaimana mungkin hatiku tidak goyah saat mendengar nada suaranya? Aku mendesah. "Akan kuusahakan."

Walaupun tidak memandangnya, aku tahu dia tersenyum saat berkata, "Thanks, Emi."

🦋🦋🦋

Jarum jam di dinding berputar dengan cepat. Tak terasa, sekarang sudah pukul 7 malam. Beberapa teman Rhy sudah datang. Tempat duduk mereka tidak jauh dari meja kasir. Kurasakan tatapan-tatapan sembunyi mereka. Saat aku memandang mereka, mereka mengalihkan pandangan ke arah lain dengan cepat. Hanya tatapan seorang gadis berambut ombre yang paling menggangguku. Tidak perlu kecerdasan tinggi untuk menebak kalau gadis itu adalah Audrey. Sepertinya dialah yang harus kuwaspadai.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang