Tiga hari berlalu tanpa Rhy. Akhir-akhir ini kami tidak berbicara sama sekali di tempat kerja. Aku sengaja menghindarinya, termasuk semua telepon dan SMS-nya. Bahkan aku sengaja mematikan data internetku untuk menghindari Yenny. Kadang ada untungnya juga punya sahabat yang malas membeli pulsa. Tentunya dibutuhkan upaya keras untuk menghindari mereka. Terutama Rhy.
Kesibukan menjelang akhir tahun mendukungku untuk tidak bertemu dengan Rhy sepulang kerja. Dan yang paling kusyukuri, Pak Eddie sama sekali tidak ikut campur dengan renggangnya hubungan kami. Atau mungkin dia memang tidak tahu.
Aku tidak mau membicarakan makan malam kami yang berantakan. Alasannya sangat sederhana dan mungkin agak kekanakan. Aku tidak mau Rhy tahu kalau aku cemburu. Aku tidak mau dia tahu perasaanku yang sebenarnya. Entah apa yang mendorongku untuk merahasiakannya. Mungkin aku terlalu malu mengakuinya.
Saat jam kerjaku berakhir, aku tidak terkejut melihat Rhy sudah menungguku di dekat kendaraanku. Mendengar langkah kakiku yang mendekat, Rhy mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk. Ekspresinya tampak lelah, tidak seperti biasanya. "Emi." Kehangatan berdesir saat mendengar Rhy menyebut namaku. Sudah tiga hari aku tidak pernah mendengar suaranya. Dan aku baru menyadari, betapa rindunya aku mendengar suaranya.
Aku tidak mengubrisnya. Kupasang helmku dengan cepat namun Rhy mencenggatku. Dia melepas kembali helm yang sudah terpasang di kepalaku. "Apa yang kau lakukan?!" hardikku.
"Kau menghindariku," Rhy berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Kau bahkan tidak makan lagi di ruang istirahat. Aku menunggumu lama sekali, tapi kau nggak datang," sambung Rhy. Suaranya mulai terdengar gusar.
"Aku nggak bawa bekal dari rumah," sahutku membela diri. Itu benar. Selama tiga hari ini, aku harus menahan lapar sampai jam kerjaku berakhir. Snack hanya mengurangi sedikit rasa laparku. Bahkan bibiku sendiri heran karena aku tidak mau bawa bekal. "Kau juga mengabaikan pesan Rayi untuk menemuiku. Semua telepon dan SMS-ku kau abaikan," Rhy memulai lagi.
"Aku nggak mau bicara denganmu," balasku ketus. Kurebut helmku yang berada di tangan Rhy namun dia mengangkatnya tinggi hingga aku tidak bisa menjangkaunya. "Nggak, kita belum selesai," tegas Rhy. "Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah malam itu?"
"Nggak," dustaku.
Rhy mendengus. "Kau payah sekali kalau berbohong," kata Rhy. "Apa kau marah karena aku lebih banyak bicara dengan Yenny daripada kau?" tebak Rhy. Tatapannya menusuk, seolah memperingatkanku untuk tidak berbohong lagi.
"Yenny memang teman bicara yang lebih menyenangkan daripadaku," timpalku kasar.
Rhy menggumbarkan tawa hambar. "Cemburu Emi?" ujarnya dengan nada sayang.
"Apa? Nggak, buat apa aku cemburu?!" tukasku. Uh, inilah alasan kenapa aku tidak mau bicara dengannya. Dia pasti akan tahu kalau aku cemburu.
"Oke," kali ini Rhy mengalah. "Aku hanya ingin menekankan," Rhy meneruskan. "Aku berbicara dengan Yenny demi kesopanan. Dia menanyaiku banyak hal, rasanya nggak sopan kalau aku mengabaikannya. Dia memang teman yang menyenangkan, tapi kau pacarku. Kau lebih berarti bagiku darinya."
Kali ini jantungku tidak bisa diajak kompromi. Aku lebih berarti? "Kita hanya pura-pura," lirihku.
"Mungkin hubungan kita hanya pura-pura, namun perasaanku nyata," suara Rhy melunak. Dia menatapku sendu. "Aku nggak ingin kau menjauh dariku," imbuhnya. "Kau masih ingat rencana kencan kita saat malam tahun baru?" Aku mengangguk sebagai jawaban iya. Kampus kami akan mengadakan festival kembang api saat malam tahun baru nanti.
"Aku akan menjemputmu lusa nanti," ujar Rhy sambil memasangkan helmku. "Malam, Sugar." Rhy pun beranjak pergi, meninggalkanku yang berusaha menenangkan detak jantungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Butterfly🦋
General Fiction🏆The Wattys Award Winner 2021 (Indonesia), New Adult Sempat menduduki rank : 🥇#1 pengembangan diri dari 140 cerita ============== Perfect Butterfly🦋 ⓒ2021, by Violette [Author of Wattys Winner 2020&2021] New Adult Romance 𝑺𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒌𝒖𝒑𝒖...