Bab 10 - Emily | No Choice 2

3.4K 452 16
                                    

Dia takut sakit, kehilangan,
dan perpisahan.  Hal-hal ini tak terhindarkan di jalan menuju cinta, dan satu-satunya cara untuk menghindarinya adalah dengan memutuskan untuk tidak mengambil jalan itu sama sekali.

Brida karya Paulo Coelho

_____________________________

Sejak SMP, aku pernah mengharapkan hubungan romantis seperti di novel yang pernah kubaca. Pangeran di dunia nyata. Begitulah dulu aku menyebutnya. Sekarang pangeran itu ada di hadapanku. Namun yang dia tawarkan kepadaku bukanlah cinta sesungguhnya. Dia hanya ingin menjadikanku alat untuk membantunya mengatasi gadis yang tiada hentinya mengejar dirinya.

Tapi... bukankah memang sejak awal aku tidak ingin pacaran dulu hingga aku siap? Lalu kenapa aku harus sakit hati jika Rhy menawarkan hubungan pura-pura padaku? "Beri aku waktu untuk memutuskannya," balasku pasrah. Bagaimanapun juga, ini bukan masalahku. Aku tidak perlu harus terlibat ke dalamnya.

"Kau harus memutuskannya sekarang, Emi," gumam Rhy pelan. "Papaku sudah tahu kalau kita pacaran. Dia mendengar pembicaraanku dengan Audrey kemarin."

Aku mengangga tak percaya. Kepalaku mendadak terasa pening akibat kurang tidur dan berpikir keras. Tenagaku sudah terkuras habis setelah memarahi Rhy tadi. "Baiklah," desahku pasrah. "Aku mau." Mendadak wajah Rhy berubah ceria. "Tapi ada syaratnya," sambungku cepat.

"Kita bisa membuat kontrak agar kau merasa nyaman. Bagaimana pun juga, ini adalah kesepakatan," gumam Rhy seperti seorang pembisnis.

Kami pun memutuskan untuk menulis kontrak hubungan pura-pura ini di atas kertas. "Apa peraturan nomor satu?" tanyaku setelah mengambil buku tulis dan pulpen di kamarku.

"Kita akan mengaku berpacaran sungguhan kepada orang lain, tanpa terkecuali," kata Rhy.

"Apa ini juga termasuk keluargaku?" Rhy mengangguk mantap. Aku pun menulisnya sesuai dengan yang keluar dari mulut Rhy.

"Giliranmu," ujar Rhy sambil memutar gemulai pergelangan tangannya.

Aku berpikir sejenak. Sebuah ide terlintas di kepalaku. "Kita hanya boleh berpegangan tangan, nggak boleh lebih," cetusku.

Rhy mengeryit mendengar nada tegasku. "Nggak boleh merangkul dan memberi kecupan?" tanyanya seolah-olah dirinya itu polos.

"Tidak," aku nyaris saja berteriak.

"Memang apa yang salah dengan itu? Ada lumayan banyak anak kuliah yang merangkul dan memberi kecupan singkat dengan pacarnya," suaranya terdengar sengaja membuatku malu.

"Jika yang kau bicarakan itu anak luar negeri, mereka memang begitu. Tapi ini tidak berlaku di Indonesia," semburku dengan emosi yang mengebu-ngebu.

Rhy terkekeh pelan, "Sekarang ini gaya pacaran remaja Indonesia agak berbeda dengan yang dulu. Bagaimana kau tahu mereka nggak melakukan hal-hal lebih dari bergandengan tangan?"

"Intinya kita hanya boleh berpegangan tangan," sahutku keras kepala.

Rhy mendesah, "Baiklah. Tambahkan merangkul saja, oke? Kita harus terlihat meyakinkan. Jika hanya bergandengan tangan saja itu membuat kita terkesan kaku."

Selama beberapa menit, kami terus mendebatkan kesepakatan yang satu ini. Ada saat di mana Rhy membuat pipiku memerah seperti tomat. Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk mengalah. "Oh, baiklah. Pastikan kau menjaga tanganmu," ujarku sambil menulis. Tulisanku berubah menjadi cakar ayam. Padahal pada kesepakatan nomor satu, tulisanku masih enak dipandang.

"Oke, sekarang giliranku," katanya sambil tersenyum puas. Rasanya ingin sekali aku melempar pulpen di tanganku ke wajahnya tapi kuputuskan untuk tidak melakukannya. "Kita akan pergi kencan tiap akhir pekan," timpal Rhy. Aku pun menulisnya tanpa pikir panjang. Toh ini kebiasaan yang wajar. Aku menambahkan kesepakatan: aku hanya akan pergi kencan di saat aku bisa dan Rhy tidak bisa memaksaku pergi ke tempat yang tidak kuinginkan.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang