Bab 3 - Emily | Distance

8.8K 779 15
                                    

"Saat kita percaya bahwa mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan itu sangat memalukan, secara tidak sadar kita mulai menyalahkan diri sendiri. Kita mulai merasa sepertinya ada sesuatu yang salah di dalam diri kita, yang menggerakkan kita ke semua jenis kompensasi yang fatal."
Mark Manson

________________________

Rhy mendekatiku dengan santai. "Ini benar kau bukan?" tanyanya lagi.

"Ini aku."

"Ternyata dunia ini sempit sekali, ya," gumamnya sedikit geli.

"Nggak juga. Aku kebetulan kuliah di sini lalu karena aku memutuskan pindah ke kos yang lebih dekat dengan kampusku, aku jadi terpaksa mencari uang tambahan. Azalea Cafe jaraknya lumayan dekat dari kosku dan kampus ini. Jadi aku memilih bekerja di sana. Itulah sebabnya kita jadi bertemu."

"Well, penjelasanmu memang masuk akal," sahutnya setelah berpikir sejenak. "Apa kau dari jurusan psikologi, sosiologi atau mungkin kau baru saja berkonsultasi?" tanyanya.

"Aku baru saja berkonsultasi," balasku. Kadang mahasiswa  bisa berkonsultasi saat mengalami masalah ke Pak Chandra.

"Apa Pak Chandra membantumu?" tanya Rhy. Aku berpikir sejenak sebelum membalas, "Nggak terlalu. Beliau memintaku untuk mencari buku self improvement atau buku yang berbau psikologi. Dan aku nggak tahu buku apa yang harus kubaca. Belum lagi uang yang kumiliki terbatas." Inilah nasib jadi anak kos. Aku harus berhemat sebaik mungkin agar pengeluaran orang tuaku tidak membengkak.

"Hmmm... begitu ya. Mungkin aku bisa merekomendasikan beberapa buku untukmu. Aku punya banyak buku yang berbau psikologi dan self improvement. Tapi kebanyakan berbahasa Inggris. Apa kau bisa membacanya?"

"Mungkin... jika gaya bahasanya ringan," ujarku sedikit gugup. Sekarang aku menyesal karena dulu kurang serius belajar bahasa Inggris.

"Bagaimana kalau kita ke Gramedia?"

Aku hanya mengerjapkan mataku. Tawaran itu agak menggoda bagiku. "Aku tidak punya uang untuk beli buku saat ini. Kau tahukan, ini sudah mulai mendekati akhir bulan," kataku, berusaha untuk tidak terdengar antusias.

"Aku mengerti. Bagaimana kalau aku yang bayar? Nggak usah segan. Uang ini hasil kerja kerasku sendiri." Setelah berpikir beberapa detik, aku pun menganggukkan kepala. "Bagaimana kalau besok? Aku harus segera kerja sekarang," ucapku.

"Maaf, besok sepertinya aku nggak bisa. Acara wisudanya dilaksanakan besok. Saat acaranya selesai, jam kerjamu sudah dimulai."

Aku sedikit ternganga menerima informasi itu. Aku tidak menyangka kalau dia sudah mau lulus secepat ini. "Bagaimana kalau hari minggu? Jam kerjamu dimulai pukul 10 pagi-kan?" ujarnya.

"Iya. Baiklah kalau begitu. Maaf, aku terburu-buru." Setelah mengucapkan perpisahan yang canggung, kami pun menuju arah yang berlawanan. Melalui bisik-bisik di sekitarku, aku sudah tahu ada banyak mahasiswi di sini yang menyukainya. Tiba-tiba aku teringat, saat teman-teman sekelasku menggosipkan tentang seorang senior dari jurusan psikologi yang sangat tampan. Mereka bilang wajahnya mirip pria Eropa. Jadi Rhy-lah orang yang sering digosipkan di kelasku.

🦋🦋🦋

"Ini kembalian Anda," kataku kepada pelanggan wanita muda. Aku mengamati suasana kafe dari belakang meja kasir. Biasanya, setelah jam makan siang tidak terlalu banyak pelanggan. Sudah tiga jam aku menanti kedatangan Rhy. Rasanya aneh sekali. Padahal dia anak pemilik kafe ini, tapi selama tiga bulan aku bekerja di sini, aku tidak pernah melihatnya. Dia seperti pria misterius yang tiba-tiba muncul begitu saja.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang