Bab 21 - Emily | End of Us

2.7K 410 3
                                    

"Terlalu sering, dalam rasa sakit dan kebingungan kita, kita secara naluriah melakukan hal yang salah.  Kita tidak merasa kita pantas untuk dibantu, jadi kita biarkan rasa bersalah, amarah, cemburu, dan kesendirian yang dipaksakan sendiri membuat situasi yang buruk menjadi lebih buruk."
—When Bad Things Happen to Good People karya Harold S.

___________________________

Playlist : Taylor Swift ft. Ed Sheeran - Everything Has Changed
🎶

Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku selesai menangis. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap hingga lewat tengah malam. Keesokan paginya, langit kelabu menyambutku, seolah langit juga ikut muram bersamaku.

Biasanya pukul 7 pagi, aku sudah selesai mandi. Namun hari ini, aku melenceng dari kebiasaanku. Kumatikan jam alarm yang sudah berbunyi sebanyak 3 kali. Pukul 7.15 tertera di layar ponselku. Kupaksakan diriku untuk bangun dari kasur lalu beranjak mandi dan sarapan. Aktivitasku tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kuliah, kerja, makan, lalu tidur. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa ada sesuatu yang sangat kurindukan. Mulai dari pesan dari Rhy yang biasanya ada di pagi hari. Bahkan sosoknya yang paling kunantikan tidak ada di kafe.

Aku tidak tahu apakah Rhy sengaja menghindariku atau dia sibuk bersiap-siap untuk pergi ke Italia. Apa lagi yang kau tunggu? benakku berkata. Bukankah ini yang kuputuskan saat amarah membanjiriku? Rhy hanya memanfaatkanku. Dia tidak menganggapmu lebih dari sekedar alat untuk mengusir penggemarnya. Dia memang memberiku kasih sayang, tapi itu semua palsu. Aku terus mengingatkan diriku sendiri bahwa diriku tidak berarti apa-apa baginya.

Rhy menghakimi kekurangan Xavier, yang merupakan kekuranganku juga. Aku kadang tidak habis pikir, kenapa kebanyakan orang berpikir dengan menghakimi kekurangan seseorang, maka orang yang dihakimi itu akan jadi lebih baik? Mungkin beberapa kasus ada yang seperti itu. Namun aku teringat buku Reason Stay to Live yang dibelikan Rhy untukku. Kebanyakan orang justru merasa tertekan bahkan depresi saat mereka terus dihakimi dan dikritik atas kekurangan yang bukan kesalahan mereka.

Aku memang tidak pernah berkomunikasi dengan Xavier, tapi sedikit banyak, aku merasa dia juga tertekan sepertiku. Mungkin karena itulah Yenny selalu berusaha menghiburnya. Namun bagi Rhy, Xavier justru membuat Yenny merasa bertanggung jawab. Keterlaluan sekali dia! Dia tidak tahu bagaimana rasanya tidak percaya diri saat menyadari orang lebih hebat. Dulu aku menggangapnya pangeran dari negeri dongeng. Sekarang aku menyadari betapa lugunya aku, menganggap dia baik dan tidak pernah menghakimi orang lain.

Di tengah kemarahanku, aku memblokir semua kontak media sosialnya. Bahkan aku menghapus nomor teleponnya. Kuputuskan untuk tidak pernah berhubungan lagi dengannya.

Hingga akhir bulan Februari, aku terus berusaha menyibukkan diri agar tidak memikirkan Rhy. Bahkan teman di kelasku merasa heran dengan perubahanku yang jadi 'gila belajar.' Kemana-mana, aku biasanya akan membawa buku pelajaran. Kadang jika aku bosan belajar, aku mencari novel baru di Wattpad.

Maret menggeser posisi Februari. Semakin banyak waktu berlalu, semakin tebal dinding es yang memisahkan kami. Aku mulai merasa bosan dengan aktivitasku. Kubiarkan diriku menghabiskan hari libur kerja di dalam kamar. Tubuhku meringkuk di atas kasur, bingung harus melakukan apa. Tidak ada tugas ataupun catatan yang harus kuselesaikan, maupun formatif yang harus kupersiapkan.

Kuputuskan untuk membongkar kembali buku fiksi yang kusembunyikan di kardus Indomie. Aku sengaja membawanya ke kos, kalau-kalau saja aku menghadapi situasi membosankan seperti ini. Buku itu tersembunyi rapi di dalam sana. Kutumpuk semua novel yang kumiliki ke atas lantai marmer seputih es.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang