Bab 28 - Rhy | Flashback 2.5

2.3K 344 6
                                    

Saya rasa kehidupan selalu menyediakan alasan agar kita tidak mati, seandainya kita memasang telinga baik-baik. Alasan itu bisa berasal dari masa lalu—mungkin orang-orang yang membesarkan kita, sahabat-sahabat atau para mantan kekasih—atau dari masa depan.
—Matt Haig

___________________________

Sisa hari itu berjalan jauh lebih buruk lagi. Ayahku berlutut di sampingku lalu menangis. Aku terlalu linglung untuk memahami kenapa dia menangis. Dia menggumamkan semacam kalimat penyesalan karena tidak menjengukku setelah pertengkaran kami. Selama beberapa jam, dia menemaniku tanpa bersuara.

Di sore hari, Jim menggantikan posisi ayahku. "Pergilah," lirihku, tanpa menatap Jim yang duduk di kursi samping ranjangku. Aku setengah berbaring di ranjang. Bantalku dijadikan tempat untuk bersandar. "Kau harus diawasi terus sampai kau kembali sehat," gumam Jim. Tatapannya tidak lepas dari komik di tangannya.

"Bagaimana kau tahu?" tanyaku datar. "Apa Josh yang memberitahumu?"

"Aku tidak sengaja bertemu dengannya di kampus," celoteh Jim. Tatapannya masih terpaku di komik. "Josh menanyakan tentang kabar dirimu. Aku merasa ada yang aneh, jadi aku curiga kalau diam-diam kau meminum obat itu. Kupaksa Josh untuk memberitahuku dan dia mengaku. Makanya aku pulang cepat untuk melihat kondisimu. Dan ternyata efeknya jauh lebih parah dari dugaanku."

"Aku ingin menghajar Josh," aku menyuarakan isi pikiranku.

"Sebelum aku pergi meninggalkannya, aku melayangkan tinju andalanku ke wajahnya. Kurasa wajahnya sekarang ini sudah memar seperti wajahmu," ujar Jim tanpa humor khas-nya.

"Kenapa kau tidak melaporkannya ke polisi kalau temanmu itu pengedar narkoba?" tanyaku tajam. "Apa karena dia temanmu lalu kau melindunginya?"

Jim meletakan komiknya di atas nakas. Dia memandangku lelah. "Bukan demi dia," jawabnya agak tertekan. "Tapi demi orang tuanya. Aku tidak yakin mereka sanggup berurusan dengan polisi. Aku baru tahu Josh mengedarkan narkoba saat dia berumur 18 tahun. Aku tidak yakin dia bisa bebas dari hukuman. Dan beberapa temanku diam-diam membeli narkoba darinya. Sekarang kau paham, kenapa awalnya aku tidak mau kau ikut? Orang sepertimu biasanya menjadi sasaran empuk Josh."

"Kau juga tidak memperingatiku," tukasku dingin.

Jim mengangkat bahunya. Dia bergumam tanpa rasa bersalah. "Kukira kau cukup waras untuk menolaknya, ternyata tidak," ujarnya acuh tak acuh.

"Yah, silahkan saja bilang aku ini bodoh," semburku ketus.

"Sebenarnya itu tidak terpikirkan olehku," cerocos Jim sambil bersedekap. "Terima kasih sudah mengingatkan, kau memang bodoh, Rhy. Bahkan lebih bodoh dariku."

"Sama-sama," sahutku dingin.

"Kau payah sekali menghadapi perubahan hidupmu," Jim menambahkan, mengabaikan pelototanku yang memintanya diam. "Padahal kau baru kehilangan keluargamu saat remaja, sementara aku saat masih kecil. Memang kenangan-kenangan yang kau miliki bersama mereka-lah yang membuatmu merasakan sakit yang lebih parah dariku. Tapi, tidak bisakah kau menerima perubahan ini dan tetap melanjutkan hidupmu? Bahkan sekalipun tidak bisa seperti dulu lagi?"

"Mudah mengatakannya," balasku pedas. "Orang tuaku sendiri juga berubah semenjak kematian Emma. Kami semua berubah. Sebagian diriku menyalahkan diriku sendiri karena membiarkan Emma ikut denganku pada hari kecelakaan itu. Jika aku tidak membiarkannya ikut atau mengemudi, dia tidak akan mati!"

"Kadang hidup kita bisa berubah begitu cepat, seperti meteor yang menghantam bumi," celoteh Jim penuh khidmat. "Ketika hidup kita telah berubah, tapi kita masih merindukan masa sebelum segalanya berubah—saat itulah kita merasakan sakit yang luar biasa. Tapi aku berani menjamin, dari pengalamanku sendiri, akan ada saatnya kau akhirnya terbiasa dengan perubahan itu. Ketika kau belajar untuk menjalani kehidupan barumu, kau mungkin mulai lupa bagaimana hidupmu yang sebelumnya."

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang