Bab 20 - Emily | So, we broken?

2.7K 414 13
                                    

Pada hari senin kemarin, Rhy dan aku menemani Leo menjajahi tempat-tempat wisata di Malang, termasuk Kota Batu. Perlahan aku juga mulai menyukai sosok Leo yang penuh canda. Keadaan di kampusku sudah kembali normal. Sepertinya semua orang di kampus sudah melupakan gosip hubunganku dengan Rhy dan memulai gosip baru.

Saat aku tiba di kafe, aku keheranan melihat Leo yang duduk di dekat konter. "Sedang apa kau di sini?" tanyaku sebagai sapaan.

Leo mendongak menatapku. "Oh, Emi," gumamnya riang. "Sebenarnya, aku mencarimu."

"Ada urusan apa?"

"Bisa cuti hari ini?"

"Tidak," tegasku.

"Oh, ayolah," rengek Leo. "Aku butuh teman ke bioskop. Nanti aku yang bayar tiketnya, sekaligus gajimu hari ini aku yang bayar sebagai upah menemaniku."

"Aku tidak suka ke bioskop. Ajak Rhy saja," tukasku.

"Dia sibuk mengurus videonya," sahut Leo sedikit jengkel. "Ayolah, please," pinta Leo, sengaja memanjangkan kata terakhirnya.

"Dengar, aku tidak bisa mendadak minta cuti seperti ini. Pak Eddie bisa marah," gumamku, berusaha untuk kabur dari permintaannya.

"Oh, itu sudah kuurus," balas Leo penuh kemenangan. "Rhy sudah menghubungi temannya untuk menggantikanmu. Pak Eddie juga sudah memberi izin. Ada lagi keluhan?"

Mulutku sedikit menganga tak percaya. Ternyata dia sudah bergerak lebih maju dariku. "Terserah, asalkan kau mengganti gajiku hari ini," timpalku pasrah.

Leo menyeringai puas, "Tenang, itu juga sudah kupersiapkan. Ayo, kita naik mobil saja. Motormu tinggal saja di sini."

Dalam perjalanan menuju Mall, tidak ada satu pun dari kami yang bersuara. Hanya ada lagu Barat yang mengisi kekosongan. Merasa resah, aku pun memutuskan untuk bersuara, "Film apa yang mau kau tonton?"

"Film Doraemon terbaru. Aku sudah lihat trailer-nya. Kelihatannya seru," jawab Leo. Saat kami berhenti karena lampu merah, jari-jari Leo mengetuk stir. Gerakannya mengikuti ritme lagu Alan Walker. Suara dering telepon bercampur dengan suara lagu. Leo mengangkat ponselnya. Sebelah alisnya yang sempurna terangkat saat melihat siapa yang menelponnya.

"Ada apa Rhy?" gumam Leo. Aku tidak bisa mendengar suara Rhy dengan jelas, tapi dari jawaban Leo, aku tahu dia ingin menyusul kami ke bioskop.

"Rhy sudah selesai mengedit videonya," ucap Leo setelah mengakhiri panggilan. "Sekarang dia menyusul kita."

Aku hanya mengangguk samar lalu mengalihkan perhatianku ke jendela. "Btw, kenapa kalian tidak akan menikah?" tanya Leo sambil menjalankan mobil saat lampu berubah hijau.

"Karena itulah kenyataannya," balasku agak ragu. "Toh hubungan kami mungkin akan segera berakhir."

"Hei, jangan bicara seperti itu," sela Leo. "Kata-katamu itu bisa menjadi kenyataan."

Itu memang kenyataan. Ingin sekali aku mengatakannya, tapi mulutku terasa lengket seperti lem. "Kuakui kadang sepupuku itu brengsek, tapi aku berani jamin dia bisa menjadi suami yang baik," sambung Leo.

"Aku tahu itu," lirihku, entah Leo mendengarnya atau tidak.

Kami sudah memasuki antrian untuk mengambil struk jam masuk kami. Sambil mengantri giliran kami, Leo bersuara, "Dia memang pernah melakukan kesalahan, tapi itu sudah lama sekali. Sekarang dia berubah jadi pria yang lebih dewasa bahkan lebih baik dariku."

"Kesalahan apa?" Namun suaraku ditelan oleh dering telepon Leo yang menuntut untuk segera diangkat. Aku tidak tahu Leo sedang berbicara dengan siapa. Dia menggunakan bahasa Italia. Nada bicaranya terdengar serius, tidak seperti biasanya. Sepanjang mencari tempat parkir yang kebetulan banyak ruang kosong, Leo terus bercakap-cakap dengan orang yang menelponnya.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang