Bab 25 - Rhy | Flashback 1

2.6K 353 6
                                    

Untuk mengubah seseorang, tidak hanya berasal dari satu kejadian saja. Tetapi dari banyak kejadian.
—Ryan Holiday

________________________

Aku tidak pernah melupakan masa terberat dalam hidupku ini. Masa ini terjadi ketika aku baru lulus SMK. Vannesa, adik perempuanku akan memasuki SMA. Bagi kebanyakan orang, masa ini adalah masa yang membahagiakan. Namun tidak bagiku. Semuanya berawal dari kecelakaan yang menewaskan kakakku—Emma.

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Suara tabrakan dan hantaman keras yang memecahkan jendela mobil Emma. Truk pikap menghantam sisi kanan mobil, tepat di mana Emma duduk. Polisi menyelidiki pengemudi yang menabrak kami sedang menelpon dan tidak menyadari kalau lampu sudah berubah merah.

Jarak rumah sakit dari tempat kecelakaan paling cepat ditempuh sekitar setengah jam. Emma diperkirakan sudah meninggal di dalam ambulance akibat kehilangan banyak darah. Anemia yang diderita Emma menjadi salah satu penyebab dia meninggal. Dia tidak seberuntung diriku. Aku hanya pingsan dan luka ringan.

Orang tuaku bersyukur tidak kehilanganku. Namun itu tetap tidak membuat mereka lega. Kemarahan dan kesedihan terus dirasakan oleh mereka. Khususnya ibuku yang akhir-akhir ini jarang menghabiskan waktu bersama kami. Akibat pekerjaannya, dia harus berada di kantor pusat yang terletak di Jakarta sejak aku berumur 15 tahun.

Selama tiga tahun, Emma yang menggantikan posisi ibuku. Dia yang merawat adik-adiknya di saat kami sakit. Membantu Vannesa, adik bungsu kami mengurus hal-hal berbau gadis remaja—yang biasanya dilakukan oleh seorang ibu. Usia kami hanya selisih dua setengah tahun, namun Emma jauh lebih dewasa dariku. Dia memiliki old soul* , tidak sepertiku yang agak kekanakan. Aku hanyalah remaja yang sibuk dengan memasak dan olahraga. Aku menjalani kehidupan remajaku seperti remaja umum lainnya : berkumpul dengan geng-ku, berkencan dengan cinta pertamaku, membangun impian, dan lain-lain.

_______________________
*Old soul = manusia yang jiwanya lebih tua daripada usianya.

Emma selalu menjadi kebanggaan di keluarga kami. Dia pelajar yang berprestasi dan mendapatkan beasiswa saat melanjutkan studi ke sarjana. Dia bahkan sudah membuat rencana untuk melanjutkan pascasarjana ke Australia. Semua impiannya itu sirna begitu saja, direnggut oleh kematian yang tidak dapat dielakkan.

Sejak kehilangan Emma, keluarga kami tidak berjalan seperti dulu lagi. Orang tuaku sering bertengkar. Ibuku menjadi lebih sensitif dari yang biasanya. Ayahku semakin larut dengan pekerjaannya. Vannesa cemas kalau orang tua kami akan bercerai seperti teman di sekolahnya. Aku memintanya agar tidak panik dulu.

Satu bulan setelah kematian Emma, keluargaku berjalan apa adanya. Aku berusaha menjalani hidup senormal mungkin. Senormal yang kubisa. Kuingatkan diriku sendiri kalau adikku membutuhkanku, dan aku harus mendampinginya menghadapi sekolah barunya di saat orang tua kami mulai mengabaikan tanggung jawab mereka.

Setiap hari aku selalu bertanya, apa yang akan Emma lakukan jika aku yang mati? Pertanyaan itu terdengar bodoh, berandai-andai aku saja yang mati, segalanya mungkin akan lebih mudah. Emma pasti bisa mendamaikan keluarga kami. Dia selalu begitu.

Lalu semuanya semakin berantakan. Di sore hari, setelah aku menghabiskan waktu dengan pacarku, aku memasuki rumah yang sepi. Vannesa dan ayahku masih belum pulang. Aku tahu ibuku ada di rumah. Di atas meja tamu, aku menemukan amplop berisi surat PHK yang tergelatak begitu saja. Amplop itu sudah dirobek menjadi dua bagian.

Cemas mulai menghantuiku saat ibuku tidak merespon teriakanku. Aku berlari ke kamarnya—lebih tepatnya kamar Emma. Ibuku sudah tidak tidur sekamar lagi dengan ayahku, semenjak pertengkaran hebat mereka dua minggu yang lalu. Kuketuk pintu berkali-kali, namun tidak ada suara. Saat kubuka pintunya, tubuh ibuku yang sudah tidak bernyawa lagi bersandar di samping ranjang.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang