Bilah-bilah cahaya matahari menembus awan, membuat kota Malang bermandikan sinar
keemasan. Kicauan burung pipit di pekarangan rumah terdengar riang, seolah ikut menyambut hari Natal. Bibiku sibuk membuat sarapan khusus hari Natal sementara pamanku dan sepupuku sibuk mengucapkan selamat natal kepada keluarga dan teman mereka melalui ponsel.Usai sarapan, kami pun langsung berangkat ke Gereja. Rencananya Rhy dan Pak Eddie akan tiba di rumah bibiku setelah acara doa di Gereja berakhir. Masih banyak ruang kosong pada lapangan parkir Gereja saat mobil pamanku memasuki gerbang. Kami memang selalu datang lebih cepat agar tidak kesulitan mendapatkan tempat parkir.
Usai kegiatan doa berakhir, jalanan dipadati mobil para jemaat. Kami terjebak macet selama 15 menit. Tiba di rumah, Rhy dan Pak Eddie sudah tiba duluan. Mereka menunggu di depan pagar yang dicat hitam. "Maaf menunggu lama," gumam bibiku penuh penyesalan. "Kami terjebak macet."
"Tidak apa," balas Pak Eddie ramah. "Syukurlah kami memilih naik kendaraan," imbuh Pak Eddie sambil menepuk pundak Rhy. Jantungku mulai berdebar tak karuan saat menyadari Rhy terus menatapku sambil tersenyum tipis.
Di ruang tamu, bibiku tiada hentinya menawari makanan dan minuman kepada tamu pertama kami. Sementara Pak Eddie mengobrol dengan paman dan bibiku, aku mengajak Rhy ke balkon untuk menikmati udara segar.
"Sebentar lagi kau harus pergi," ujar Rhy sambil melirik jam tangannya. Khusus hari ini, kafe baru dibuka pukul 12 siang. Aku menghela napas lalu bersandar di pundak Rhy. Rhy berdiri di belakangku sambil merangkul pinggangku. "Menyesal nggak cuti hari ini?" goda Rhy di telingaku.
"Kau juga harus mengunjungi sepupumu," balasku setengah merajuk. "Dan aku malas menyambut tamu di rumah ini."
"Jam tiga, aku akan kafe. Nanti malam, kita kencan ya," ajak Rhy.
"Maksudmu makan malam seperti biasa?"
"Tapi kali ini agak berbeda," ujar Rhy penuh arti.
"Berbeda?" Aku menatapnya, berusaha menebak ekspresinya yang menjanjikan rahasia.
Rhy mengulum senyum. "Nanti, kau lihat saja," bisiknya.
🦋🦋🦋
Bulan sudah menggantikan tugas matahari. Para pengunjung meramaikan tiap sudut kafe. Suara kendaraan dan mobil tiada hentinya berbunyi. Sebentar lagi jam kerjaku akan berakhir. Aku sudah tak sabar menantikan kejutan Rhy. Dia masih sibuk di dapur dan sebentar lagi akan menyusulku ke ruang istirahat.
Pintu masuk terbuka, sepasang kekasih memasuki kafe. Mulanya aku tidak memperhatikan mereka, namun saat mereka sudah berada di depan konter, aku nyaris saja memekik terkejut. "Emily?" ujar Yenny setengah memekik. "Kukira kau sudah pulang," sambungnya dengan antusias. Aku baru ingat kalau kampus Yenny pasti juga liburan.
"Khusus hari ini, jam kerjaku berakhir pukul 8 malam," jawabku santai. Pria di samping Yenny tampak memperhatikanku. Dia masih muda, mungkin umurnya tidak jauh berbeda denganku. Rasanya aku pernah melihat wajahnya. "Oh, perkenalkan. Ini Xavier," gumam Yenny riang. "Dia pacarku."
"Dia orangnya?" tanyaku tak percaya. Rambutnya lebih panjang jika dibandingkan dengan foto yang pernah ditunjukkan Yenny padaku beberapa bulan yang lalu. Yenny menggangguk. "Tapi, bukannya dia tinggal di Bandung?" aku masih tak percaya.
"Bibinya mengajak dia liburan selama seminggu di sini. Dia baru tiba lusa lalu," jawab Yenny.
Aku hanya menjawab oh lalu menanyakan pesanan mereka. "Emi, bagaimana kalau kamu makan bareng dengan kita. Sudah lama kita enggak ngumpul," ajak Yenny.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Butterfly🦋
General Fiction🏆The Wattys Award Winner 2021 (Indonesia), New Adult Sempat menduduki rank : 🥇#1 pengembangan diri dari 140 cerita ============== Perfect Butterfly🦋 ⓒ2021, by Violette [Author of Wattys Winner 2020&2021] New Adult Romance 𝑺𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒌𝒖𝒑𝒖...