Bab 2 - Rhy | Nightmare

9.4K 997 6
                                    

Beberapa jam sesudah mengantar Emily pulang...


Setelah sekian lama, mimpi itu kembali lagi. Seorang gadis remaja sedang berdiri di dekat pagar balkon. Rumah besar yang dicat putih marmer itu bertingkat tiga dan mewakili keindahan khas Eropa. Meskipun rumah ini terkesan mewah dan indah, namun aku tahu, bagi gadis itu, rumah ini hanyalah penjara. Aku tahu dia ingin bebas dari semua hal yang membuat dadanya sesak.

Lalu dia menaiki balkon itu dengan perlahan. Ada kekosongan dan keputusasaan di matanya. Perubahan pada wajahnya sangat kontras dengan yang dulu kuingat. Rambut cokelat gelapnya berkibar pelan. Begitu pula rok krem selututnya. Aku berteriak kencang, "Jangan... hentikan. Tidak ada gunanya." Aku tidak tahu apakah dia sempat mendengar teriakanku sebelum dia melompat dari lantai dua.

Tubuh rampingnya tergeletak di atas lantai pekarangan yang terbuat dari batu bata merah. Darahnya mengalir dengan cepat seperti air yang tumpah dari gelas. Aku berusaha berlari namun tubuhku hanya berjalan di tempat. "Kumohon," bisikku pada tubuhku. "Aku harus menyelamatkannya. Hanya dia satu-satunya yang tersisa."

Namun percuma. Tubuhku tidak mau mendengarkan. Aku berusaha memberontak dari ikatan tak kasat mata itu. Aku harus menyelamatkannya. Kata-kata itu terus menggema di kepalaku bagaikan mantra.

Aku terlonjak bangun sambil menggapai-gapai kasur. Badanku dipenuhi keringat dingin. Kedua tanganku sedikit gemetar. Dadaku agak naik turun, berusaha menghirup udara dengan normal. Perutku terasa mual hingga kukira aku akan muntah.

Tidak ada AC di kamarku yang cukup luas ini. Kipas elektrik yang terletak di sudut kamarku itu sengaja kumatikan. Hanya ada cahaya lampu tidur yang menerangi kamarku. Aku melirik jam di nakas. Masih pukul 1.35 pagi. Rasa mualku perlahan mulai surut. Aku lalu berbaring kembali dan menatap langit kamarku.

Sudah lama mimpi itu tidak menghantuiku lagi. Sepertinya kejadian hari ini membuat kenangan lama itu kembali ke permukaan. Gadis itu... aku lupa namanya dan tadi aku tidak menanyakannya. Dia mengingatkanku akan masa lalu yang ingin kulupakan. Setelah berbaring hingga sekitar 2 jam, aku baru bisa kembali ke kegelapan. Mimpi itu tidak menghampiriku lagi.

🦋🦋🦋

"Kenapa kau ingin ke kampus siang ini, Rhy?" tanya ayahku. Kedua tangannya sibuk menuang biji kopi ke wadah mesin kopi yang merupakan hadiah dari almarhum ibuku.

"Aku ingin konsultasi dengan Pak Chandra sekaligus menanyakan acara wisuda besok," jawabku sambil membalik omelet yang sudah nyaris matang. Aroma telur yang dimasak merebak di udara, membuat perutku semakin bergemuruh.

"Apa kau masih ada janji dengan YouTuber lain?" tanyanya lagi.

"Nggak ada. Setelah selesai wisuda, aku hanya akan membuat video tutorial memasak saja. Nanti aku juga akan membantu di kafe Papa."

"Oh, syukurlah. Akhirnya kau tidak sesibuk dulu lagi. Kau tahu, ada banyak pembeli yang sering menanyakan keberadaanmu."

"Jangan Papa beritahu mereka kalau aku nanti akan bekerja di bagian dapur. Aku nggak ingin kerepotan memberi tanda tangan dan berfoto lagi."

Ayahku mendengus lalu berkata, "Kau ini pelit sekali. Padahal mereka itukan penggemarmu. Kau juga bisa jadi kaya karena mereka."

Aku menghela napas lelah, "Pah, memberi tanda tangan dan berfoto puluhan bahkan hingga ratusan kali itu sangat melelahkan. Nanti Papa akan tahu bagaimana rasanya saat jadi terkenal." Setelah itu, percakapan kami beralih mengenai rencanaku ke depannya dan masalah wisuda sambil menyiapkan sarapan.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang