Bab 29 - Emily | I Still Love You

3.2K 403 6
                                    

"Sejak itu," gumam Rhy muram. Kepalanya menunduk menatapi kedua tangannya yang terkatup rapat. "Aku sering mengalami mimpi buruk. Aku melihat Vannesa terjun dari balkon dan bersimbah darah di dalam mimpiku. Tubuhku nggak bisa bergerak. Pernah beberapa kali aku akhirnya bisa berlari, tapi tubuh Vannesa bergerak menjauh. Aku nggak pernah bisa menyentuhnya ataupun mendekatinya. Aku juga pernah memimpikan mayat mamaku. Tapi aku paling sering memimpikan Vannesa yang terjun dari balkon. Dia sering menghantuiku dalam mimpi. Berkat Pak Chandra dan Viktor, aku akhirnya bisa mengatasi mimpi itu."

"Kau pernah bertanya padaku kenapa aku mengambil jurusan psikologi, bukannya tata boga atau yang berkaitan dengan kuliner. Inilah alasan utamaku. Aku berpikir, mungkin aku bisa menyembuhkan tantrum Vannesa. Lalu aku menyelidiki kasus-kasus yang serupa dengan Vannesa. Tapi Dokter Gilbert—psikiater yang merawat Vannesa bilang kalau itu mustahil. Tantrumnya nggak akan hilang. Tapi aku bisa membuatnya supaya nggak sering kambuh."

"Mulanya aku ingin melanjutkan kuliah di Italia saja sambil merawat Vannesa. Tapi pamanku nggak mau menerima papaku di rumahnya. Aku bimbang, harus memilih Vannesa—yang invalid, atau papaku—yang sudah mengecewakanku namun berusaha menebusnya. Dokter Gilbert bilang dia bisa merawat Vannesa untukku, dan papaku membutuhkanku di rumah. Dia khawatir papaku juga akan hancur."

"Jadi aku pulang ke Malang. Setiap liburan akhir semester, aku selalu menjenguk Vannesa, berusaha untuk berbicara dan berharap dia mengerti apa yang kubicarakan. Vannesa nggak jauh berbeda dengan patung porselen. Dia nggak bersuara kecuali saat tantrumnya kambuh. Percobaan bunuh dirinya itu tidak hanya membuat mentalnya terganggu dan kehilangan kedua kakinya, tetapi juga buta. Awalnya dia juga tidak mau makan, kecuali aku yang menyuapnya—itu pun dengan susah payah. Dia selalu mengamuk setiap kali mendengar suara papaku lalu menangis histeris."

"Menurut Dokter Gilbert, sebagian besar ingatan Vannesa terblokir akibat kerusakan pada otaknya. Dia sepertinya juga lupa siapa dirinya. Tapi samar-samar dia masih mengingatku. Aku adalah orang kedua yang paling dekat dengannya setelah Emma. Kebenciannya pada papaku sepertinya terlalu besar hingga dia masih ingat, kalau dia marah pada papaku. Beberapa bulan kemudian, akhirnya Vannesa mau menerima suapan dari Dokter Gilbert. Saat aku memasuki semester tiga, aku mengunjunginya, pengasuhnya bilang dia juga mau menerima suapannya. Vannesa perlahan mulai jarang mengamuk."

"Selesai mengerjakan skripsi, aku sengaja menunda kunjunganku. Setiap kali melihat mata Vannesa yang kosong dan tak ada warna kehidupan, aku teringat mimpi-mimpi itu lagi hingga membuatku muntah." Rhy mendongak, menatapku. Matanya berkilat dan basah. "Lalu, malam itu, aku bertemu denganmu. Gadis defensif yang menolak tawaran yang nggak pernah kuberikan kepada gadis mana pun. Sekilas aku merasakan ketakutanmu kepadaku, makanya aku tidak memaksamu saat itu. Tapi aku khawatir kalau terjadi sesuatu padamu. Bayangan Vannesa yang invalid mendorongku untuk mengikutimu diam-diam. Dan di sanalah kau, diganggu oleh seorang pecandu."

"Sejak itu, aku merasakan ada semacam tarikan yang menarikku untuk mendekatimu. Aku bingung kenapa aku bisa merasakan hal itu. Waktu yang kita habiskan bersama menjawab pertanyaan itu. Ada sedikit kemiripan antara kau dengan Emma. Kau sangat serius seperti Emma, hanya saja kau lebih parah darinya. Sekilas, kalian terlihat seperti orang yang membosan, padahal sebenarnya tidak—setidaknya bagiku. Kau jadi lebih terbuka saat semakin lama mengenalku. Dan aku merasa nyaman bersamamu. Aku dulu senang menjahili Emma, persis seperti aku senang menjahilimu. Mungkin itu sebabnya aku nggak bisa jauh-jauh darimu."

"Tawaran kontrak itu hanyalah tindakan egoisku. Aku memang ingin Audrey berhenti berharap, tapi alasan utamaku adalah aku ingin merasakan momen menjadi pacarmu. Dan hanya itulah satu-satunya cara agar kau mau menerimanya. Sampai akhirnya kita bertengkar. Aku kira kau menikmatinya sama sepertiku. Aku egois memaksamu ke dalam hubungan yang sejak awal tidak kau inginkan. Dan aku minta maaf untuk itu. Kali ini, aku ingin memulainya dengan cara yang berbeda, tanpa ada paksaan lagi."

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang