Bab 26 - Rhy | Flashback 1.5

2.2K 317 3
                                    

Apa mencabuti duri yang ada di jalan seseorang itu benar-benar langkah terbaik untuk mereka? Meskipun mereka masih terlalu muda untuk melakukan perjalanan lalu jatuh, tapi penting juga bagi mereka mengetahui rasa sakit, dan mencari cara agar mereka bangkit kembali.
—Anime ReLIFE

_________________________

"Aku nggak mau ikut. Titik," aku bersikukuh.

"Rhy," tegur ayahku. "Inilah alasan utama Papa membawamu kemari, bukan untuk minum alkohol." Hampir setengah jam ayahku menceramahiku mengenai kejadian dini hari tadi.

"Aku nggak mau mendengar omong kosong seorang rabi," sahutku ketus, lalu menarik selimutku hingga menenggelamkan diriku.

"Jangan lancang, Rhy," raung ayahku. "Dia bukan rabi sembarangan. Jangan merendahkan orang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani Tuhan."

"Pokoknya aku nggak mau," teriakku keras kepala. "Papa saja sana yang pergi. Aku mau tidur."

"Sebaiknya jangan kau paksa dia, Eddie," aku mendengar Christ berbicara. "Dia bukan anak kecil lagi yang bisa kau kendalikan."

"Dan dia masih belum sepenuhnya dewasa," balas ayahku murka. Tidak pernah aku mendengar ayahku semurka itu. Aku memang sudah mengecewakannya dan aku tidak peduli. Ayahku juga sudah mengecewakanku. "Biarkan dia dulu, Eddie. Kalau kau memaksanya, kemungkinan hubunganmu dengannya akan hancur sama seperti hubunganmu dengan Vannesa," Christ berkata dengan bijak.  "Dan kita bisa terlambat menghadiri khotbah rabi Viktor," sambung Christ.

Helaan napas ayahku terdengar cukup keras. "Jangan keluyuran lagi, Rhy. Papa segera kembali."

Hingga malam tiba, aku tidak keluar dari kamarku, kecuali untuk ke kamar mandi. Christ berbaik hati mengantarkanku makanan, yang kutelan dengan enggan. Keesokan harinya pun berjalan seperti itu juga. Jim sepertinya muak melihatku menyendiri di kamar. "Hei," seru Jim di ambang pintu kamarku. "Ini cara terburuk untuk menyiksa dirimu sendiri," celoteh Jim sambil bersedekap. "Aku mau keluar lagi. Kau mau ikut tidak? Lupakan saja tentang papamu malam ini. Kita akan segera kembali. Dan sebaiknya kau tidak minum terlalu banyak malam ini."

Kutepis keraguanku lalu berkata, "Aku ikut." Jim tersenyum puas sementara aku mengganti bajuku.

Kali ini Jim mengajakku ke pesta temannya. Rumah bandar itu letaknya tidak jauh dari rumah Christ. Kerumunan anak punk memenuhi beranda. Aku dan Jim memasuki rumah besar tersebut.

Ruangan khusus untuk pesta dipenuhi gerombolan remaja. Lampu-lampu warna bermain-main di lantai dansa, menerangi orang-orang yang berdansa. Gadis-gadis mengoyangkan rambut panjang mereka, begitu pula pinggul mereka. Beberapa pria tampaknya menikmati pemandangan eksotis tersebut. Aku sedikit meringis merasakan musik yang mendengung di telingaku. Jim sudah ikut bergabung dengan teman-temannya di lantai dansa sementara seorang DJ menggerakkan kedua tangannya, mengikuti irama musik yang dimainkannya.

Sebuah lengan menyentuh pundakku, sementara sebelahnya lagi berada di perutku. "Hello, Boy," goda seorang gadis muda di belakangku.  Gadis itu cantik dengan make up-nya yang tebal. Sebagian rambut hitamnya disemir merah jambu dan menjuntai di sepanjang pinggangnya yang ramping. Pakaiannya sangat ketat hingga aku dapat melihat lekukan tubuhnya yang sempurna. Dia mengenakan pakaian yang menunjukkan pundak dan pahanya yang putih.

"Mau berdansa denganku?" rayunya. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku hingga aku dapat mencium aroma lip gloss-nya.

"Aku tidak pandai berdansa," gumamku sesopan mungkin.

Dia mencibir nakal, "Bagaimana kalau minum?" Kali ini aku tidak menolak. Dia menggiringku ke meja bar. "Mau pesan apa?" tanya bertender pria paruh baya di belakang konter.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang