Bab 13 - Emily | One Request

2.8K 424 6
                                    

Sekedar info, aku sudah menetapkan jadwal update cerita ini, yaitu hari rabu dan sabtu (supaya kalian yang jomblo bisa ditemani cerita ini wkwkwk). Untuk jam update tidak menentu ya. Bisa pagi/siang/sore/malam. Kalau aku sudah online, pasti langsung diupdate kok. Maklum, author kalian ini bukan orang yang suka online terus😂.

Oke, stop basa-basinya.

Happy reading guys ♡

=================

Samar-samar aku merasakan kehangatan di pipiku. Pipiku menempel di benda yang kokoh sekaligus nyaman. Aku mendesah lalu merapatkan diriku ke dalam benda itu. Kurasakan sesuatu melingkari tubuhku. Bau peppermint yang bercampur dengan aroma pewangi pakaian menusuk indra penciumanku.

Kedua mataku terbuka perlahan. Butuh waktu beberapa detik untuk mengingat keberadaanku dan apa yang berada di dekatku. Lebih tepatnya dipelukanku. Aku tersentak mundur hingga aku duduk di sudut sofa. Rhy menatapku geli. "Apa yang kau lakukan?!" seruku.

Rhy mengernyit. Dia menatapku seolah-olah aku ini konyol. "Aku nggak melakukan apa-apa," ujar Rhy agak tersinggung. "Aku tengah asyik menonton pertandingan Quidditch," sambungnya. "Kau tertidur dipundakku lalu kedua lenganmu melingkari pinggangku, memelukku seolah-olah aku ini guling."

"Masa sih," sanggahku malu. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal memalukan seperti itu? Tidak, ini pasti karena Rhy menggodaku. Samar-samar aku masih ingat saat mataku mulai tidak tahan lagi. Aku memejamkan mata hanya untuk mengurangi rasa beratnya. Lalu sepertinya aku tertidur.

"Intinya," ujar Rhy, memutuskan pikiranku yang berkecamuk. "Kau tiba-tiba memelukku. Aku hanya menyentuh pundakmu seperti sebelum kau tertidur."

Aku tidak memiliki kekuatan untuk menyangkalnya lagi. Aku bisa saja memilih untuk terus mengelak, membuatku terlihat seperti anak kecil yang keras kepala. Namun itu terlalu memalukan dan kekanakan. Kami sama-sama berdiam diri hingga suara teriakan Harry Potter yang memanggil nama Ron membuat kami sama-sama tersentak kaget.

Rhy berdeham. Dia berkata dengan nada orang dewasa. "Aku nggak keberatan kalau kau mau memelukku. Sekalipun mungkin kita hanya berpura-pura pacaran, tapi kita tetap akan melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan pasangan sesungguhnya." Aku hanya mengangguk samar. Diam-diam aku merasa lega Rhy tidak mengolok-ngolokku.

Senyum penuh arti terbit di wajah Rhy. "Nah," seru Rhy. "Kuharap kau masih ingat dengan kesepakatan yang kita buat tadi." Perlahan kabut mulai menyingkir di pikiranku. Butuh waktu 5 detik untuk mengingat kesepakatan konyol itu. Pipiku semakin memanas saat menyadari aku telah kalah. "Ini nggak adil," cetusku. "Kau membuatku cokelat hangat. Sehabis minum itu, aku jadi semakin mengantuk. Apa kau mencampur obat tidur di dalamnya?"

Rhy menggelengkan kepalanya. "Kau berpikir jauh sekali, Emi," gumamnya tak terima. "Aku nggak punya obat tidur di sini. Papaku akan marah besar kalau dia tahu aku menggunakan obat tidur tanpa anjuran dari dokter."

Perasaan bersalah mencengkamku begitu kuat. Perlahan egoku mulai surut. Aku mendesah frustasi. "Oh, baiklah," seruku pasrah. "Apa yang kau inginkan? Kuharap kau nggak meminta sesuatu yang kurang ajar."

Rhy menyeringai puas seperti predator. "Nggak kok," katanya sedikit geli. "Aku hanya minta satu." Mata cokelatnya tertuju ke wajahku. Dia menatapku lekat, membuatku duduk gelisah. Saat itulah aku baru sadar, kalau dia sedang mengamati bibirku.

"Aku nggak mau menciummu," cetusku begitu saja.

Rhy mengernyit mendengar kata-kataku yang disampaikan dengan ketus. "Siapa yang mau menciummu?" tanyanya setengah menggoda.

"Kau tadi mengamati bibirku!" balasku gusar.

"Aku hanya baru menyadari betapa menariknya bibirmu, bukan berarti aku ingin menciummu." Dapat kurasakan rona merah mulai menyebar di wajahku. "Permintaanku adalah," kata Rhy sambil berusaha menahan senyumnya. "Izinkan aku mentraktirmu saat kita berkencan nanti."

Mulutku mengangga tak percaya. Kutatap bibir merah Rhy yang menggoda. Oh, sejak kapan pikiranku jadi mesum begini?

"Oh, itu ya. Terserah kau saja, asalkan nggak berlebihan," gumamku sedatar yang kubisa.

Mataku mengamati wajah Rhy. Aku baru menyadari betapa mulusnya wajah Rhy yang sewarna minyak zaitun. Biasanya pria yang pernah kutemui tidak memiliki kulit semulus itu. Ada jerawat atau bintik aneh yang menempel di wajah mereka. Namun Rhy tidak. Mungkin dia sangat merawat kulitnya, batinku.

Mendengar suara bel berbunyi, Rhy pun beranjak untuk membuka pintu. Pak Eddie memasuki ruang tamu, diikuti Rhy di belakangnya. Beliau membawa belanjaannya sebanyak dua kantong plastik putih besar. "Rhy," seru Pak Eddie setelah meletakkan belanjaannya di meja dapur. "Bisa bantu Papa menyusun bahan makanan ke dalam kulkas?" pinta Pak Eddie.

Rhy pun menyusul ayahnya ke dapur. Samar-samar aku mendengar perbincangan mereka tentang makan malam nanti. Pak Eddie ingin Rhy memasak Bulgogi*

____________________

*Bulgogi adalah makanan asal Korea berupa daging sirloin atau bagian daging sapi pilihan. Bumbu bulgogi adalah campuran kecap asin dan gula ditambah rempah lain, bergantung pada resep dan daerah di Korea.

"Emi," panggil Rhy dari dapur.

"Apa?" balasku.

"Apa nanti malam kau mau makan daging sapi?" tanya Rhy. Dia masih sibuk menyusun bahan baku makanan di kulkas. "Aku tidak keberatan," aku balas berteriak. Rencananya nanti malam kami akan makan bersama setelah pulang kerja. Pak Eddie tidak ikut bersama kami karena dia harus menjaga kasir dan menyelesaikan pembukuan keuangan Azalea Cafe. Kadang aku ikut membantunya demi mendapatkan bonus gaji. Yah, bonusnya memang kecil namun lumayan untuk jajan makanan.

Tidak lama kemudian, Rhy kembali duduk di sampingku. Tatapan kami masih fokus ke layar TV saat mendengar langkah kaki Pak Eddie yang mendekat. "Apa kalian tidak berencana ingin kencan ke luar?" tanya Pak Eddie setelah duduk di sofa khusus satu orang.

Rhy menggeleng. "Rencananya kami akan menghabiskan series Harry Potter saja," gumam Rhy.

"Itu juga tidak buruk," komentar Pak Eddie. "Hari senin nanti kalian bisa kencan di luar. Kafe-kan tutup dan Emily juga libur."

"Kami rencananya hanya akan tetap nonton saja, Pa," jawab Rhy. "Emi sebentar lagi ujian. Aku nggak ingin menganggu konsentrasinya maupun mengguras tenaganya."

"Oh, begitu ya. Setelah selesai ujian, kamu liburan akhir semester-kan, Emi?"

"Ya, saya libur," jawabku setenang mungkin. Jantungku masih tidak karuan saat merasakan tatapan Pak Eddie. Ditambah lagi, Rhy terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya di hadapan bosku sendiri.

Pak Eddie tertawa khas kebapakan. "Tidak perlu segugup itu, Emi," gumam Pak Eddie di tengah rasa gelinya. Ekspresinya mirip sekali dengan Rhy. Sekarang aku tahu dari mana Rhy mendapatkan sikap humorisnya. "Kau sekarang pacar anakku. Tidak perlu pakai 'saya' lagi," imbuh Pak Eddie.

"Umm, oke," jawabku singkat. Setelah berbasa-basi sebentar dengan kami, Pak Eddie pun beranjak pergi. Series pertama Harry Potter sudah selesai. Kami pun melanjutkan series yang kedua. Kadang kami berdiskusi mengenai hal-hal sepele. Mulai dari pelafalan mantra, kostum, hingga alur cerita. Meskipun kisah Harry Potter terkesan tidak masuk akal—namanya juga kisah fantasi, aku tidak pernah bosan menontonnya berulang kali. Rhy pun begitu. Rasanya seperti ada kekuatan magis yang membuat kami sama-sama terhanyut ke dalam cerita.

Tak terasa, series kedua pun sudah selesai kami tonton. Kami sama-sama merengangkan badan seperti kucing. Rhy mematikan TV dan mencabut kabelnya dari stop kontak. "Ayo, kita berangkat kerja," ajak Rhy. Aku pun mengikutinya tanpa suara.

CONTINUED...

Thx for reading this part ♡
Maaf ya bab ini lebih pendek :'( Soalnya author lagi kekurangan ide di bagian ini😭

Don't forget to leave vote and your opinion about this story^^

Big hug,

Violette

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang