Bab 27 - Rhy | Flashback 2

2.2K 340 5
                                    

Hi all! Sedikit peringatan, bahwa konflik di part ini semakin memuncak. So, siapkan hati kalian ya.

Tinggalkan vote&komen kalian juga yak ♡

===================

Ini bukan soal kekuatan. Ini bukan soal bersikap tegar dan tahan banting. Ini tentang melihat segala sesuatu dengan lebih jelas.
—Matt Haig

________________________

Teman Jim menjemput kami dengan minivan di depan gang. "Yo, what's up, Jim," sapa si pria yang mengemudi. Jim membalas sapaan temannya itu sambil bersalaman dengan gaya remaja pria di Amerika. Ada tiga pria yang sebaya dengan Jim di dalam minivan. Mereka semua memandangku dengan sorot penasaran. "Perkenalkan," Jim bergumam riang. "Ini turis yang menumpang di rumahku."

"Sepertinya usaha sampingan Christ semakin maju saja," sahut pria di samping pengemudi. Christ tidak hanya menjalan bisnis restoran kecil saja, tetapi juga AirBnB*. Dia membiarkan ayahku dan aku menempati kamar yang biasanya dia sewakan untuk turis dengan harga yang terlampau murah pada kami.

________________________
*AirBnB adalah jaringan pasar daring dan penginapan rumahan sejawat yang memungkinkan pengguna mendaftarkan atau menyewa properti untuk digunakan dalam jangka pendek. Harga sewanya ditetapkan oleh pemilik properti. Mirip Uber dan Grab yang tidak memiliki armada taksi namun bisa menawarkan jasa transportasi.

"Siapa namamu?" tanya si pengemudi.

"Rhy," jawabku singkat.

Mata mereka bertiga terbelalak mendengarnya. "Rhy... kau yang tidur dengan Bethany kemarin?" sembur si pengemudi agak syok.

Tatapan menusukku melayang tepat ke arah Jim yang duduk di sampingku. Ekspresi Jim seolah berkata, Bukan aku yang memberitahu mereka.

"Aku tidak mau membicarakannya," sahutku dengan nada menyudahi percakapan ini. Mereka menurut begitu saja lalu sibuk berbincang tentang musik band. "Aku sudah memperingatimu," bisik Jim di dekat wajahku. "Kalau sahabat Bethany senang bergosip." Geraman lirih keluar dari mulutku. Jim merosot di kursinya lalu ikut menimpali obrolan teman-temannya.

Sepanjang perjalanan, aku sibuk mengamati jalanan. Suasana kota Boston tidak terlalu sepi sekalipun sudah tengah malam. Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di sebuah apartemen kelas menengah dengan 4 lantai. Tembok apartemen itu terbuat dari batu bata merah. Pekarangannya dipenuhi tanaman hias. Tanpa sengaja, sosok Emma yang sibuk menyirami tanaman terlintas di benakku.

Aku teringat ekspresi Emma yang serius, namun memancarkan tekad kuat saat membicarakan tentang impiannya yang ingin mengurangi pemanasan global. Aku teringat wajahnya yang berbinar penuh cinta saat membicarakan tanaman yang dirawatnya. Kemurkaan sedingin es merayapi diriku saat mengingat insiden kecelakaan yang menewaskan Emma. Kenapa? Kenapa bukan aku saja yang tewas? Kenapa harus Emma? Aku yakin Emma jauh lebih kuat dariku dalam menghadapi semua ini.

Tiba di dalam apartemen, kami disambut oleh Josh. Dia teman Jim yang mengadakan pesta di apartemennya. Apartemennya lumayan luas dan nyaman. Namun tamu-tamu yang diundangnya itu membuatnya menjadi sesak. "Ini, kau hanya boleh minum 1 gelas saja," ujar Jim sambil menyodorkan segelas wiski berukuran medium. Aku langsung menghabiskannya hingga tandas.

Jim berkumpul dengan geng-nya di sofa yang sudah penuh remaja. Beberapa ada yang duduk di lantai. Mereka sibuk bermain truth or dare. Jijik melihat tantangan yang dilayangkan oleh mereka, aku pun menjauh tanpa suara. Aku memilih duduk sendirian di dekat jendela, memandangi jalanan kota Boston yang sepi. Kusadari aku sedang terjun bebas tanpa akhir. Sudah seperti itu untuk beberapa lama. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Suara Josh di belakangku mengejutkanku hingga nyaris terjungkal dari kursi.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang