Bab 9 - Rhy | No Choice 1

3.4K 469 11
                                    

Beberapa menit setelah mengantar Emily pulang...

Suara bel tiada hentinya berbunyi setelah aku keluar dari kamar mandi. "Sebentar," teriakku. Kubiarkan handuk mengantung di leherku lalu melangkah menuju pintu. Kulirik lubang kecil yang ada di pintu. Tampak sosok Audrey yang berdiri dengan ekspresi wajah tak sabaran. Saat pintu terbuka, seperti biasa, Audrey langsung masuk.

"Ada apa lagi Audrey?" tanyaku jengkel.

"Kau dari mana saja sih?" balas Audrey tak kalah jengkelnya. "Aku menelponmu berkali-kali dan kau tidak mengangkatnya! Kau juga tidak membalas chat-ku!"

"Ponselku tertinggal di rumah. Aku tadi pergi ke kebun apel. Dan plis... berhenti menelponku terus. Jika ada masalah dengan video ataupun grup kita, kau tinggal hubungi Tony."

Audrey melototiku tajam lalu menyahut jengkel. "Kali ini masalahnya berbeda." Dia membuka sesuatu di ponselnya lalu menunjukkan sebuah video Instagram ke arahku. Sial. Video itu menunjukkan kejadian di kafe tadi. "Sudah kau DM akun yang memposting video ini?!" tanyaku setengah menggeram.

"Sudah tapi dia belum merespon." Hening sejenak, dia menambahkan, "Siapa cewek ini? Apa dia benaran pacarmu?"

Awalnya aku bingung harus berkata apa. Seandainya Emily mau menjadi pacar pura-puraku, aku bisa saja langsung menjawab iya. Namun ini kesempatan langka. Jika aku menjawab iya, Audrey pasti akan langsung berhenti berharap. Harapan konyol di kepalanya itu akan berhenti mengangguku. "Ya," jawabku agak ragu. "Kami baru saja pacaran."

Seperti dugaanku, Audrey tampak syok menerima berita itu. "Apa," ujarnya sarat dengan kesedihan. "Dia gadis yang pernah kau sebut beberapa minggu yang lalu itu?"

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Saat itu aku baru beberapa hari mengenal Emily. Audrey bertanya padaku saat itu apa tidak ada gadis yang menarik di mataku. Aku tanpa pikir panjang menjawab ada namun tidak memberitahu siapa dia.

Audrey sering mampir ke rumahku untuk membantu proses perekaman video. Dia teman sekelasku di kampus. Aku mengajaknya untuk bekerja di timku karena keahliannya dalam merekam dan mengedit video. Hal yang tidak kuharapkan darinya adalah jatuh cinta denganku.

Sikap keras kepala Audrey membuatku sulit untuk menghentikan harapannya yang tidak akan pernah terjadi. Dia gadis yang berbakat dan menyenangkan. Namun dia haus akan perhatian. Dan ini tentunya tidak sesuai dengan kriteriaku. Sering kali dia akan berusaha menarik perhatianku, kecuali saat bekerja—sepertinya dia ingin aku puas dengan hasil kerjanya—dan dia memang selalu membuatku puas.

Kurasa sudah saatnya untuk membuatnya berhenti berharap dan mencari pria lain. Pria yang tidak akan mengecewakannya. "Ya, dia gadis itu," desahku.

"Sejak kapan kau menyukainya? Bukannya kalian baru saja berkenalan?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kesedihannya—namun tetap saja terdengar.

Aku mengangkat bahu lalu bergumam, "Kami sering menghabiskan waktu bersama. Kurasa tanpa sadar aku jatuh cinta padanya." Bukan kebohongan namun juga tidak sepenuhnya jujur.

Aku sendiri masih tidak yakin dengan perasaanku terhadap Emily. Aku berpikir dia tidak secuek penampilannya. Emily adalah gadis yang sangat pemalu dan introvert. Kadang aku sendiri penasaran apa yang ada di pikirannya itu saat dia memperhatikan sesuatu. Kusadari dia senang mengamati, bahkan hal-hal yang biasanya tidak terlalu menarik.

"Aku akan membereskan masalah video sialan ini," Audrey mengalihkan topik. "Kalau orang ini tetap tidak merespon, aku akan melaporkannya."

Beberapa menit kemudian, dia pergi tanpa banyak basa-basi. Yah, kurasa ini yang terbaik. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana menjelaskan hal ini dengan Emily. "Sudah Papa duga kau pasti berkencan dengannya," kata ayahku tiba-tiba. Dia berjalan ke arahku lalu duduk di sofa sambil mengamatiku.

Perfect Butterfly🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang