- [ h e l l o i t s a d e l ] -
proudly present,
.
.
.
4 B I L L I O N ' S G A M E
.
.
.
-----------------------------------------------------------
Ini mimpi.
Dan ketika aku membuka mata, aku akan berada di kamar dengan realita kehidupan yang tengah menungguku untuk berperang.
Sekiranya, itulah yang sejak kemarin aku inginkan. Namun, bolehkah aku berkata bahwa Tuhan cukup jahat karena tidak mengabulkan apa yang aku inginkan?
Kelopak berpoles butir kerlap-kerlip berwarna senada kulit milikku terangkat. Bola mataku menangkap kebahagiaan yang berpendar dari orang-orang di sekelilingku. Mereka menatapku penuh senyum. Meski aku tahu, dibalik senyum itu, tersimpan beragam makna yang bisa saja menyakitkan jika kuketahui.
Berselimutkan warna lambang kesucian, aku menjadi muak melihat suasana di sekitarku yang penuh dengan putih. Gaun indah yang melekat pada tubuhku pun, berwarna serupa. Sedangkan aku tahu diriku tidak cukup suci untuk bisa dilambangkan dengan warna itu.
Seandainya bisa, aku ingin sekali mengenakan gaun berwarna hitam. Hitam yang segelap dendam. Hitam yang sesuram keputusasaan. Hitam yang sekelam rahasia.
Aku ingin sekali mengenakan gaun itu, alih-alih menggunakan gaun putih yang terlalu bersih ini. Agar aku bisa nampak serasi dengan seseorang berbalut tuxedo mahal yang kini ku rengkuh lengannya dengan mesra. Karena dengan begitu, bagaimana sosok kami yang sebenarnya, bisa tercermin dari pakaian yang kami kenakan.
Melupakan bagaimana tatapan orang-orang serta suasana yang harusnya penuh bahagia di hadapanku, mataku berpaling. Dalam diam menatapnya. Si pemilik lengan yang saat ini tengah melakoni perannya, menyeimbangi aktingku.
Waktu ku curi dengan paksa hanya untuk menjelajah sisi samping wajahnya yang begitu tegas. Lekukan hidungnya bagaikan gunung yang tak semudah itu ditanjaki. Bibir merahnya yang tipis dan tampak basah menyembul pas tanpa berlebihan.
Kesimpulannya, dia tampan.
Tapi, aku enggan berharap banyak padanya. Mengingat kami ini sama.
Sama-sama berhati kotor yang akan melakukan bahkan mengorbankan apapun demi apa yang kami inginkan.
Aku berkedip. Di saat bersamaan, dia menoleh padaku. Sepertinya, dia cukup peka kalau aku tengah mengamatinya -sembari merutuki takdir kami di dalam hati-.
Pandangan kami terkunci satu sama lain. Melalui cahaya dari kamera yang tengah memotret 'kemesraan' kami, terpantul kilat marah dari bola matanya. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan bentuk mata sendunya yang memancarkan kesedihan.
Kata orang, pernikahan adalah mahligai bahtera yang suci dan sakral.
Kata orang, pernikahan adalah penyatuan cinta dua sejoli yang sudah ditakdirkan Tuhan.
Kata orang, pernikahan adalah dimana seseorang bisa menemukan bahagia yang sesungguhnya.
Aku mendengus. Begitu pula pria itu yang mengangkat satu sudut bibirnya.
Tatapan kami pun berubah. Aku tidak lagi menerawangnya penuh perhitungan. Begitu pun dia yang tidak lagi mengendurkan area sekitar matanya untuk membuatnya tampak sendu.
Di balik ekspresi yang datar, tatapan setajam belati terhunus di antara kami. Tanpa ku lihat, aku tahu dia sedang mengepalkan kedua tangannya. Karena aku juga demikian.
Sayangnya, semua yang orang katakan tentang pernikahan, tak akan berlaku untuk kami. Aku dan dia, menolak pernyataan bodoh semacam itu.
Tak ada yang lebih penting bagi kami untuk menikah, selain mendapatkan apa yang harusnya kami dapatkan.
Tak ada yang lebih penting bagi kami untuk menikah, selain membalaskan dendam.
Tak ada yang lebih penting bagi kami untuk menikah, selain meraih empat miliar rupiah.
Kami... bejat, kan?
- to be continue -
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]
RomanceKetika nominal empat miliar rupiah membuatmu mempermainkan kesakralan sebuah pernikahan. Ketika nominal empat miliar rupiah membuatmu rela kehilangan kehormatan demi mendapatkan hak yang sudah sepatutnya kamu dapatkan. Ketika nominal empat miliar ru...