:: Bab XXVII ::

342 45 10
                                    

Tanggal 13. Pukul 7 pagi. 

Semua orang bersiap untuk hari spesial ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua orang bersiap untuk hari spesial ini. Pakaian yang akan dikenakan oleh mempelai pada hari ini pun sudah diantarkan. Para penata rias dan penata rambut turut mempersiapkan peralatan mereka. Fotografer dan videografer bersiaga mengambil footage yang akan dijadikan jejak dokumentasi. 

Lapangan luas yang tadinya kosong sudah disulap sedemikian rupa. Panggung kecil sebagai pelaminan dihiasi bunga-bunga cantik serta ornamen berwarna putih. Kursi untuk tamu undangan disusun rapi. Stan-stan makanan mulai diisi oleh menu-menu yang akan menjadi santapan nanti.

Tempo detak jantung Mita terus meningkat, seiring dengan denting jarum jam yang berjalan di ruang rias. Berbagai posisi sudah ia coba tapi ia tetap tak bisa menemukan posisi nyamannya. Ia duduk dengan gelisah. Sampai-sampai ia merasa bersalah pada penata rias yang tengah mendandani dirinya karena tidak bisa diam tenang. 

"Mbak Mita pasti sangat gugup, ya? Wajar, kok, Mbak. Hampir semua calon pengantin akan seperti itu di hari pernikahannya," cetus sang penata rias, seolah memahami keresahan Mita. Mita menatap pantulan dirinya sendiri yang tengah dipoles agar tampil cantik, bersama hembusan napas berat. 

Dadanya terasa sesak. Kini, sudah tidak lagi menghitung hari. Hanya menghitung detik untuk sampai di waktu ia sah menjadi istri dari seorang Bramasta Rahardian, pria yang menginginkan dirinya hanya sebagai alat untuk membalaskan dendam kepada sang Papa, Putra Adiswara.

...

Di lain ruangan, Bram tengah mematut penampilannya sendiri. Ia berusaha merapikan dasi kupu-kupu yang melingkari lehernya namun tetap tidak ada perubahan. Ira pun turun tangan.

Wanita paruh baya itu pun akhirnya luluh. Perlahan tapi pasti, ia mencoba mengerti dan setuju untuk mengikuti rencana Bram. Meski terasa berat, Ira senantiasa memasang senyum terbaiknya.

"Bunda percayakan ini semua sama kamu, Bram," ungkapnya, membenahi jas yang pria itu kenakan usai memastikan dasinya sudah terpasang rapi. Seraya menangkup wajah serius Bram, tak disangka air mata jatuh dari pelupuk matanya. "Kita lakukan ini semua demi Erie, ya?"

Bram mengangguk pelan. Ia sudah tak mampu mendeskripsikan perasaannya sekarang. Alih-alih diselimuti kebahagiaan, Bram merasa dadanya seperti diacak-acak. Ada sedih dan marah yang membuat gejolak emosinya naik turun tidak karuan. 

Ia meraih bandul kalungnya yang merupakan cincin berukir nama Erie. Menggenggamnya dengan begitu erat di saat hatinya merapalkan permintaan maaf.

'Maaf, Erie. Aku tidak bermaksud mengkhianati kamu. Tapi, ini satu-satunya cara agar kamu bisa mendapatkan keadilan. Bantu aku melewati ini semua, ya?'

...

"Ini buket bunganya, ya, Mbak."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang