"Kita harus mengingatkan Kak Bram, Mas."
Adam membuang napas. Ia punya pemikiran yang sama dengan Nesa, gadis yang sejak tadi tidak berhenti mondar-mandir di hadapannya.
"Dia udah berani membela Sasmita. Aku yakin, pertahanannya mulai goyah," imbuhnya kemudian, teringat akan ledakan emosi Bram padanya hanya karena ia mengungkap kebenaran mengenai sang kakak kepada Mita.
"Kalau Kak Bram goyah dan melunak pada Sasmita, kita gak akan bisa menghancurkan Putra Adiswara."
Manggut-manggut, Adam menyetujui semua yang Nesa katakan. "Aku bakal bicara sama Mas Bram."
Nesa pun menerima inisiatif Adam, hingga akhirnya ia teringat akan hal yang lain. "Mas Adam tahu, kalau Sasmita mutusin untuk bantu Kak Bram dan kerjasama sama Kak Bram?"
"Kerjasama untuk apa?" Adam mengernyit bingung. "Mana ada seseorang menerima tawaran kerjasama musuhnya?"
"Kerjasama mengusut kebakaran pabrik. Kak Bram gak cerita?"
Penjelasan Nesa membuat Adam menggeleng setelahnya. Dari pertemuan terakhir mereka, Adam hanya ingat bahwa pria itu memberi arahan. Tak sedikitpun menceritakan pasal itu.
"Lihat. Bahkan, Kak Bram berani menutupi itu dari kita."
"Memangnya Mas Bram mau bekerjasama? Dengan anak pembunuh itu?"
"Sasmita yang bilang." Nesa menggigit bibirnya dengan gusar. Langkahnya tak berhenti. Terus mondar-mandir seperti setrika berjalan.
"Sasmita bilang, dia dan Kak Bram udah berdamai dan memutuskan untuk mengusut kebakaran itu sama-sama."
"Apa?!" pekik Adam, tanpa sadar. Pria itu sampai melompat dari kursi yang didudukinya. "Jangan ngaco kamu, Nes."
"Itu yang Sasmita bilang, Mas. Aku juga kaget." Nesa spontan membela diri. Kegelisahan yang menderanya seketika menular pada Adam.
"Tanpa membicarakannya pada kita? Wah." Adam berseru takjub. Tentu saja bukan dalam artian positif.
Keduanya hanya bisa diam dan merenung. Pikiran mereka tak cukup sampai untuk mengerti jalan pikiran Bram yang tidak ketebak sama sekali. Ini jelas melenceng jauh dari rencana awal mereka.
Kring! Kring! Kring!
Dering telfon pun menginterupsi keseriusan di antara kedua orang itu. Adam segera menyambar ponselnya yang bergetar di atas meja.
"Halo?"
"Selamat siang, Mas Adam. Saya mau menginformasikan bahwa Pak Harrish bersedia melakukan interview dengan Mas Adam sore ini. Untuk lokasi dan jam-nya akan saya informasikan segera."
Harusnya ini menjadi kabar baik untuk Adam. Tapi, memikirkan cerita Nesa tadi membuat konsentrasinya buyar.
"Baiklah. Terima kasih informasinya."
"Siapa, Mas?"
"Perwakilan Harrish Harun. Mas Bram minta aku interview dia untuk mendapatkan petunjuk."
Adam mengemas tas-nya dan segera memakai jaketnya. Melihat dari raut wajahnya ia tampak frustasi.
"Ya udah. Tentang yang tadi, jangan dipikirin dulu, Mas. Lebih baik Mas Adam fokus sama tugas Mas Adam," saran Nesa, merasa bersalah karena membuat Adam turut menanggung beban pikiran yang sama dengannya.
Adam merespon sekenanya. Yang Nesa bilang sangat benar. Ia butuh kepala yang dingin dengan pikiran yang fokus karena kesempatan ini tak akan datang dua kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]
RomanceKetika nominal empat miliar rupiah membuatmu mempermainkan kesakralan sebuah pernikahan. Ketika nominal empat miliar rupiah membuatmu rela kehilangan kehormatan demi mendapatkan hak yang sudah sepatutnya kamu dapatkan. Ketika nominal empat miliar ru...