:: Bab LXXX ::

333 34 1
                                    

"Maaf, Bu. Anda tidak bisa menemui Pak William saat ini. Beliau sedang rapat di dalam."

Mengabaikan teguran dari resepsionis di depan ruangan, Mita mendorong paksa pintu di hadapannya. Banyak pasang mata langsung menyasar pada kehadirannya yang jelas tak diundang.

"Nona Mita."

Tatapan Mita langsung tertuju pada sang empunya ruangan. William bergerak meninggalkan kursinya, ditemani raut muka yang tak bersahabat. Rapatnya jadi terganggu dan wajar jika ia tak senang akan hal itu.

"Saya ingin bicara dengan anda."

"Anda tidak lihat—"

"Sekarang," sela Mita dengan cepat. Alisnya mengkerut serius, se-serius kata-katanya barusan.

...

"Apa kabarmu, Bramasta?"

Bram terdiam. Ia tidak mau gegabah dalam menebak siapa sang lawan bicara. Padahal, sebuah nama sudah tercetus di dalam kepala. 

"Bagaimana dengan pesta penyambutan Tuan Putra kemarin? Saya dengar, pesta itu juga untuk merayakan kehamilan Nona Mita," imbuh penelfon itu, yang diakhiri dengan kekehan ringan.

"Saya tidak menyangka kamu bisa menyelesaikan misi yang Tuan Putra berikan. Saya pikir kamu tidak akan bisa membuat Nona Mita hamil karena kamu tidak mencintainya."

"Kamu semakin banyak bicara, Ashraf."

Tawa lawan bicaranya menggelegar. Bram meremas setir kemudinya dengan perasaan jengkel. Teringat akan fakta bahwa pria itu masih berkeliaran bebas dan berpotensi mengancam untuknya dan juga Mita. 

"Haruskah saya mengucapkan 'selamat'?"

"Dimana kamu sekarang? Kamu tahu bahwa kamu tidak akan bisa selamanya bersembunyi, kan?"

"Baiklah. Selamat untuk kalian berdua. Saya harap, kalian masih diberi kesempatan untuk melihat bayi itu lahir nantinya. Semoga saja bayi itu bisa lahir dengan selamat, ya."

Bram berusaha untuk tidak terpancing. Namun, makna yang terkandung dalam ucapan Ashraf barusan berhasil memantik emosinya. Tidak ada yang bisa menghindari fakta bahwa pria di sebrang sana berusaha menakut-nakutinya. 

"Kamu tidak mau bilang 'terima kasih'?"

Tak menyahut, Bram mulai sibuk mengetik pesan yang akan ditujukkan kepada seseorang. Ia menyalakan mode loudspeaker agar suara Ashraf masih bisa terdengar. 

"Haruskah saya mengatakannya?" balas Bram beberapa lama setelahnya. Yang kemudian ditertawakan lagi oleh Ashraf sebagai reaksinya, "Jangan berpikir kamu bisa melacak posisi saya melalui nomor ini, Bramasta."

"Kamu menghubungi saya tidak hanya untuk mengucapkan 'selamat', bukan?"

"Tentu saja." 

Lampu lalu lintas berganti hijau. Bram yang tak bisa mematikan telfon penting itu begitu saja memilih untuk melipir ke tempat yang sisi jalan yang lebih sepi.

"Kamu sudah tahu keramaian apa yang terjadi tadi pagi?"

Bram berpikir cepat dan secepat itu juga ia menyimpulkan bahwa Ashraf menyinggung soal unjuk rasa di depan kantor Wara Group yang menjadikan Mita sebagai sasarannya. 

"Kamu punya kemampuan mengatur banyak orang untuk mau menuruti perintahmu, Ashraf."

"Menurutmu, dengan kemampuan itu apa saya pantas jadi pemimpin?"

Seketika, Bram teringat dengan ucapan Putra tempo hari. Ashraf memiliki ambisi dan obsesi yang mengerikan terhadap Wara Group. Pertanyaan pria itu barusan memberi pencerahan pada Bram.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang