:: Bab XXIV ::

326 34 2
                                    

"Bagaimana bisa gak ada orang yang mengadopsinya sampai dia dewasa?"

Itu adalah pertanyaan yang terlinras di dalam kepala Mita sesaat setelah membaca riwayat hidup Bram. Fakta bahwa pria itu menjadi yatim piatu seumur hidupnya cukup menarik untuk Mita.

Bukan menarik dalam artian negatif. Mita hanya tidak menyangka bahwa nasib Bram ternyata tak lebih baik darinya yang hanya kehilangan satu sosok orang tua sejak remaja. Sedangkan Bram kehilangan dua sosok orang tua sekaligus bahkan di saat dia masih seorang bayi yang cuma bisa menangis.

Mita kembali melirik riwayat hidup Bram untuk kemudian berfokus pada foto pria itu. Tiba-tiba saja, Mita berpikir kalau Bram sudah melalui lika-liku kehidupan yang tidak mudah seorang diri. Ia jadi merasa... kasihan.

Bahkan dengan kehidupannya yang mengenaskan, Bram begitu gigih berjuang membalaskan dendamnya pada sang Papa. Kendati Mita masih belum mengerti alasan dibalik niat buruk Bram, Mita hanya meyakini bahwa Papanya telah melakukan kesalahan besar. Sebuah kesalahan yang mungkin tak akan termaafkan oleh pria itu, kecuali jika Papanya mati.

Mita bergerak, mengusap foto Bram dengan jari manisnya. Ditemani hati yang bergemuruh dengan perasaan tak menentu, Mita bergumam lirih.

"Apa sebenarnya kesalahan Papaku, sampai kamu melakukan semua ini, Bram?"

...

"Mas, kamu kenapa, sih? Apa yang terjadi hari ini sampai kamu segembira itu?"

Cheline bertanya sambil memiringkan tubuh dan menyangga kepalanya menggunakan telapak tangan. Sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk bermain-main di atas dada Putra yang berbaring di sampingnya.

Putra mengulum senyum lalu menjawab, "Akhirnya, tanggalnya sudah ditetapkan."

Cheline mengernyit sebentar. Sebelum akhirnya menyadari apa yang tengah dimaksud oleh Putra.

"Tanggal... pernikahan Mita maksudmu?"

Tebakannya sangat akurat. Putra memberikan anggukan sebagai jawaban.

"Kapan kamu memutuskannya? Kenapa... tidak memberitahuku?"

"Tadi siang. Aku mengajak Bramasta, Mita, dan juga Anggi untuk makan siang bersama dan membahas tanggal pernikahan mereka."

"Apa? Kamu mengajak Mba Anggi juga?"

Cheline hampir memekik, terkejut kemudian marah. Putra kembali melakukan hal menyebalkan yang sama. Bertemu dengan mantan istrinya yang begitu Cheline benci. Dan yang lebih parahnya adalah tidak meminta izin Cheline selaku istri terlebih dahulu.

"Tentu saja. Bagaimanapun aku harus melibatkan Anggi. Dia Mama-nya Mita."

"Kamu tentu bisa menentukan tanggal pernikahan itu tanpa perlu melibatkan Mba Anggi, Mas. Kamu bisa memutuskan apapun sesukamu," sahut Cheline, terdengar ketus. Ia pun langsung membaringkan tubuhnya dan menarik tangannya dari dada Putra.

"Atau paling tidak, kamu bisa mengajakku. Aku ini, kan, Mama-nya Mita juga walaupun hanya mama tiri."

"Apa kamu cemburu sekarang?"

Cheline mendecak sebal, "Mas, aku bukan cemburu dengan Mba Anggi. Aku hanya tidak suka ketika kamu tidak melibatkan aku. Bagaimanapun, aku istri kamu. Mungkin, untuk urusan perusahaan aku akan terima jika kamu tidak meminta pendapatku. Tapi—"

"Ayolah, Cheline. Kamu tidak akan jadi kekanak-kanakan hanya karena aku tidak mengajak kamu ikut menentukan tanggal pernikahan Mita, kan?" sela Putra begitu saja.

Menurutnya, belakangan ini Cheline menjadi lebih cerewet dari biasanya. Terhitung semenjak ia memutuskan Mita sebagai pewaris perusahaan. Dan sikap Cheline itu sangat menganggu.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang