:: Bab LXXXVII ::

702 46 1
                                    

6 bulan kemudian.

Dalam balutan rompi oranye yang tampak mencolok, Ashraf menguntai langkah ringan. Dengan kedua tangan yang diborgol kendati salah satunya harus memakai penyangga, ia mengandalkan petugas untuk membantunya turun dari mobil tahanan.

Kehadirannya pun menjadi pusat perhatian dari seluruh wartawan yang sudah stand-by di pengadilan sejak pagi tadi. Kilau cahaya kamera seakan menamparnya dan memaksanya untuk membuka mata. Tak ada yang mengalihkan sedikitpun mata darinya, pun gunjingan yang mengudara hanya untuk membahas sosoknya serta kejahatan yang sudah ia lakukan.

"HUKUM DIA SEBERAT-BERATNYA!"

"DIA MENGHILANGKAN NYAWA BANYAK ORANG! BERIKAN HUKUMAN YANG SETIMPAL!"

"DASAR IBLIS! PERGILAH KE NERAKA!"

Tak hanya wartawan, namun perkumpulan keluarga para korban dari tragedi kebakaran pabrik Wara Group 12 tahun lalu turut hadir ke persidangan. Teriakan penuh kemarahan menyasar Ashraf. Mereka menuntut pria itu dituntut dengan hukuman yang paling berat sebagai balasan atas apa yang telah ia lakukan kepada keluarga mereka.

Ashraf pun tak menanggapi. Seolah denging nyamuk di malam hari, ia memilih tutup kuping. 

Selain itu, banyak sekali pertanyaan dari wartawan yang diajukan untuknya. Namun, tak diberi kesempatan untuk menjawab, Ashraf pun membisu. Ia hanya berfokus pada langkahnya, paling tidak agar tak tersandung di antara himpitan orang-orang yang berusaha mendekat padanya untuk sekedar memukul atau menjambaknya.

Setelah perjalanan yang tidak panjang namun melelahkan, Ashraf berhasil masuk ke ruang sidang. Lagi dan lagi, ia menjadi pusat perhatian. Hakim yang bertanggung jawab memimpin sidang serta para jaksa dan panitia persidangan lain pun menatap ke arahnya lekat-lekat.

Namun, Ashraf lebih tertarik pada kursi hitam yang berhadapan dengan meja sang hakim. Kursi panas yang disiapkan di tengah ruangan itu akan menjadi singgasananya nanti. Ia menatap kursi itu lekat-lekat, sebelum akhirnya duduk di kursi dengan papan nama 'Terdakwa' sembari menunggu persidangan dimulai.

"Kepada terdakwa, silahkan menduduki kursi pemeriksaan."

Atas perintah hakim tersebut, petugas membukakan borgol di tangan Ashraf lantas membawanya duduk di kursi panas itu. Dia nampak tenang saat menjawab pertanyaan pembuka dari hakim. Wajar karena ini adalah sidang kesekian kali untuknya. Berbanding terbalik dengan orang-orang yang menghunuskan tatapan tajam penuh dendam ke arah punggungnya.

Hingga pada waktunya, pembacaan tuntutan pidana. Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan isi surat tuntutan pidana dengan suara yang lantang sehingga para hadirin sidang mampu mendengarnya dengan jelas.

Dana dengan toga hitam kebanggaannya pun berdiri dari kursinya. Tak jauh berbeda dengan hadirin sidang lainnya, ia turut mengarahkan tatapan tajam ke arah Ashraf yang masih bisa menghela napas panjang di saat seharusnya dia terengah-engah karena panik dan ketakutan. Ia sampai tak sadar bahwa microphone di tangannya sudah ia remas kuat-kuat.

Menjelaskan seluruh kejahatan yang sudah Ashraf lakukan sejak 12 tahun lalu hingga saat ini, Dana membacakan tuntutan yang telah disiapkan olehnya sebagai penuntut umum untuk menghukum Ashraf seadil-adilnya. 

"Sebelum kami sampai pada tuntutan pidana atas diri terdakwa, perkenankan kami mengemukakan hal-hal yang kami jadikan pertimbangan mengajukan tuntutan pidana.

Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan hilangnya nyawa banyak orang yang merupakan anggota serikat buruh pabrik milik perusahaan Wara Group 12 tahun yang lalu, mengakibatkan hilangnya nyawa korban atas nama Arnold Wijayanto, Tio Mantovani, Tarma, serta Johan Hasibuan, pencemaran baik dan percobaan pembunuhan terhadap korban Putra Adiswara dan Sasmita Chandie Adiswara.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang