Suasana di dalam kamar rawat Mita seketika menjadi canggung. Awan mendung kegelisahan mengerubungi ruangan itu. Konfrensi pers yang baru saja selesai berhasil membuat semua orang di sana terkejut.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu. Meski belum diizinkan, sang pengetuk pintu sudah lebih dulu mendorong daun pintu itu dan melangkah masuk. Membawa raut wajah penuh senyum.
"Bagaimana keadaanmu, Mita?"
Pertanyaan itu jelas ditujukkan untuk Mita. Namun, justru Anggi yang menjawab. Suaranya meninggi dan dia langsung pasang badan untuk mencegah Putra menghampiri ranjang putrinya.
"Apa-apaan itu, Mas? Kamu menyuruh Mita menikah meski kamu tahu dia tidak siap dengan itu?"
"Menurutku, Mita sudah cukup siap. Toh, dia sudah 27 tahun. Untuk apa dia mengulur waktu untuk menikah?" Putra membalasnya dengan tenang. Ia hanya tak ingin atmosfer menjadi semakin berantakan bila terhanyut dalam emosi yang Anggi pancarkan.
"Kamu tahu apa tentang Mita, hah?! Kamu hanya menjadikannya boneka kamu semenjak dia diangkat sebagai pewaris perusahaan! Kamu pikir saya tidak akan tahu rencanamu itu?!"
Rasanya wajar bila Anggi marah. Ia sempat bersyukur karena nyatanya Putra masih memperhatikan kesejahteraan putra-putrinya. Namun, menjadikan Mita pemeran untuk mengikuti setiap skenario pria itu, tak mudah untuk Anggi terima.
Kejadian yang menimpa Mita kemarin sudah cukup melukai hatinya. Ia tak tahu, hal buruk apalagi yang akan menghampiri Mita suatu saat nanti, bila gadis itu tetap dipaksa mengikuti skenario Putra.
Anggi lantas mengalihkan pandangan pada pria lain yang mengekori Putra. Matanya memicing, sinis.
"Kamu benar-benar bersedia menikah dengan putri saya? Apa imbalan yang kamu dapat kalau kamu menikah dengan Mita?"
Anggi menyerbu Bram dengan pertanyaannya. Sayangnya, Bram membisu. Dia tidak bersuara sedikitpun.
Putra pun menengahi, "Kamu yang tidak tahu apa-apa, Anggi. Kalau kamu masih ingin penjelasan dari saya, mari kita bicarakan di luar. Saya tidak mau waktu istirahat Mita terganggu."
Pria paruh baya itu kemudian beranjak keluar. Tanpa perlu ia pastikan, Anggi pun mengikutinya. Meninggalkan Bram di ruangan itu bersama Mita dan Warna.
"Na, kamu tolong keluar sebentar, ya. Kakak ada perlu sama dia," pinta Mita. Kehangatan yang sejak tadi bertengger pada tatapannya pun lenyap begitu ia membalas tatapan Bram.
Sebenarnya, Warna enggan untuk beranjak. Hanya mengamati gelagat sang kakak dalam menyambut kehadiran pria itu, sudah memberinya firasat tidak enak.
Akan tetapi, Mita kekeuh. Memintanya untuk tetap keluar. Warna yang tak sekeras kepala Mita pun akhirnya memilih untuk angkat kaki dari sana.
Lirikan yang ia berikan untuk Bram tidak kelihatan ramah. Ia bahkan tak sungkan untuk memindai pria itu dari atas sampai bawah. Bermaksud untuk mengintimidasi sebelum benar-benar keluar dari ruangan tersebut.
Kini, Mita dan Bram benar-benar tinggal berdua saja. Keheningan masih mendominasi keadaan. Keduanya beradu pandang dengan sengit.
"Aktingmu tadi lumayan," sindir Mita. Merujuk pada sikap 'sok' bijaksana Bram selama konfrensi pers berlangsung.
"Sekarang, semua orang sudah tahu bahwa kita akan menikah. Kamu tidak punya kesempatan lagi untuk menolak."
Mita mendengus. Lagi-lagi bermaksud sarkas.
"Kamu puas sekarang?"
"Kamu hanya belum mengerti, Mita. Suatu saat nanti kamu akan berterima kasih pada saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]
RomantikKetika nominal empat miliar rupiah membuatmu mempermainkan kesakralan sebuah pernikahan. Ketika nominal empat miliar rupiah membuatmu rela kehilangan kehormatan demi mendapatkan hak yang sudah sepatutnya kamu dapatkan. Ketika nominal empat miliar ru...