:: Bab VI ::

507 42 1
                                    

"Anda yakin tidak sedang melantur?"

Itulah respon Bram untuk pertama kali. Sepuluh detik setelah Putra Adiswara mengutarakan maksud kedatangannya.

Cairan hitam yang berada di dalam cangkir Putra memantulkan senyum penuh arti pria paruh baya itu. Denting waktu mengiringi keheningan di antara keduanya.

Putra Adiswara menarik napas usai mendengus pelan. Senyumnya enggan pergi dari kedua sudut bibir.

"Menurutmu bagaimana?"

Dengan Putra yang melempar balik pertanyaan kepadanya, Bram hanya bisa terkekeh. Menurut logika dan akal sehatnya, tawaran itu adalah  bentuk candaan yang terlalu menggelikan.

"Terima kasih untuk hiburannya, Putra Adiswara. Jika tidak ada yang ingin anda katakan lagi, saya akan kembali bekerja," sahut Bram, yang kemudian bergerak bangkit dari sofa.

Sayangnya, cengkraman Asyraf menggagalkan niatannya. Tatapan tajam dari balik kacamata pria itu seakan menuntutnya untuk tidak pergi kemana-mana sebelum pembicaraan benar-benar selesai.

Sementara itu Putra Adiswara hanya diam. Pun, senyumannya tahu-tahu sudah menghilang. Kini, hanya ada keseriusan yang menghiasi kerut wajahnya.

Bram bisa saja melepaskan cengkraman Asyraf dari pundaknya. Hal itu bukanlah sesuatu yang sulit. Akan tetapi, ia memilih untuk kembali duduk dan melanjutkan pembicaraan tak masuk akal ini sampai akhir. Ia enggan menyulap kantornya bak kapal pecah.

Putra menatap Bram lekat-lekat, "Anggap tawaran ini sebagai batu loncatan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Melihat dari kekacauan yang sengaja kamu buat malam itu, saya mengerti betapa besar keinginan kamu untuk mendapatkan uang tersebut."

"Saya belum se-gila itu, Putra Adiswara."

"Begitukah?" tanya Putra, memastikan. Nada suaranya terkesan mengejek, "Kalau kamu memang tidak menginginkan uang tersebut, maka kamu tidak akan repot-repot menyerang rumah saya bersama gerombolan kamu itu. Benar, kan?"

Bram tidak menjawab. Sedangkan Putra kembali berbicara, "Jadi, bukan salah saya kalau saya berpikir bahwa kamu sangat menginginkan uang itu. Dan sekarang, saya memberikan kemudahan untuk kamu. Apa susahnya menerima tawaran yang saya berikan?"

"Bagi orang seperti anda, semua hal akan terlihat sangat mudah, Putra Adiswara. Anda tidak akan mengerti apa yang saya dan teman-teman saya inginkan." Bram akhirnya membuka suara. Terdengar sinis dan menohok.

Suara jentikan jari Putra Adiswara menyahuti geraman Bram, "Maka dari itu, saya memberikan kamu dan teman-teman kamu itu kemudahan, Bramasta Rahardian."

Bram menggeleng. Tawanya tertahan. Usai menggeram lalu tertawa, Bram rasa tak perlu lagi baginya untuk menjelaskan apa yang ia pikirkan sekarang. Semua kata yang bercokol di dalam kepalanya masih sama.

Putra Adiswara adalah seorang pria yang tak punya akal sehat. Pria itu jelas tidak waras.

Mana ada seorang Ayah yang merelakan putrinya dinikahi oleh sembarangan orang hanya untuk menghasilkan anak pewaris? Julukan 'Ayah' pun rasanya sangat tak pantas disandang oleh orang seperti itu. Dan Putra Adiswara adalah buktinya.

Ketimbang mempertaruhkan kewarasannya jika tetap ada di sana, Bram memilih pergi. Tak lagi berhenti kala Ashraf mencegat. Bahkan, ia tak ragu menubruk pundak pria itu hingga menabrak dinding. 

Pintu ruangannya terbanting keras. Mengejutkan beberapa anak buah-nya yang baru akan menghampiri. Bram melenggang pergi, tanpa sedikitpun niat untuk berbalik. 

"Ini jelas tidak akan mudah, kan, Ashraf?" 

Putra menuangkan keresahannya pada Ashraf ditemani senyum tipis. Senyum dengan berbagai makna bersamaan tatapan berambisinya yang melalak ke arah lorong. Tempat terakhir kali punggung pemuda tidak tahu diri itu masih terjangkau oleh netranya. 

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang