"Cukup antar sampai sini saja."
Mita tak mau susah payah menutupi keinginannya untuk menjaga jarak dengan Bram. Ia pun berbalik saat Bram tak merespon apapun kecuali mengangguk.
Pria itu sudah akan memasuki kembali mobilnya jika saja Anggi tak buru-buru mencegat, "Mita, kamu duluan ke atas, ya, bersama Sarah. Mama mau berbicara dengan Bramasta."
Mita mengernyit, "Mama mau bicara tentang apa sama Bram?"
Anggi tidak menjawab pertanyaan tersebut. Dia sekedar tersenyum lalu menyuruh Sarah agar segera membantu Mita ke dalam.
Tentu saja Mita tak bisa membiarkan. Bukan apa-apa. Ia hanya merasa bahwa ia perlu tahu apa yang akan Mamanya bicarakan dengan Bram. Ia tentu tak bisa membiarkan Anggi tahu kalau pernikahannya dengan Bram hanyalah upaya untuk memenuhi salah satu syarat yang diberikan Putra agar ia bisa mendapatkan harta warisannya.
Tanpa menunggu persetujuan Bram, Anggi langsung menduduki kursi penumpang di bagian depan. Tatapannya mengisyaratkan Bram agar segera masuk ke dalam dan membawanya pergi dari sana.
Anggi yang memutuskan untuk berhenti di sebuah taman yang tak begitu jauh dari apartemen. Keduanya kini duduk bersebelahan. Dua kopi kalengan yang Bram beli di salah satu vending machine menemani perbincangan keduanya.
"Kamu belum menjawab pertanyaan saya yang kemarin, Bramasta," ucap Anggi, membuka obrolan. Mata sayu wanita paruh baya itu memandangi kerumunan orang yang sedang menonton pertunjukkan dari seorang musisi jalanan. Meski begitu, Bram tahu seperti apa makna dari sorot mata yang terpancar dari wanita di sampingnya tersebut.
"Saya benar-benar serius ingin menikahi Sasmita, Bu."
"Dengan alasan apa?"
Todongan pertanyaan Anggi memang mengejutkan. Namun, tak cukup mengejutkan untuk Bram yang sudah menyusun jawaban untuk segala keingintahuan Anggi.
"Saya pikir, saya tidak butuh alasan tertentu ketika saya melakukan ini karena saya memang hanya ingin Sasmita."
"Dan kamu pikir saya akan percaya dengan omong kosong itu?"
"Saya dan Sasmita memang belum lama bertemu. Saya sangat memaklumi kalau Bu Anggi berpikir demikian. Saya juga tidak akan mengemis pada Bu Anggi agar percaya pada saya. Tapi, yang jelas, saya sudah membuat komitmen untuk menjaga dan melindungi Sasmita."
"Putri saya adalah anak yang kuat. Tanpa kamu jaga dan kamu lindungi, dia bisa melakukan itu untuk dirinya sendiri."
Kini, Anggi menolehkan wajah. Kerumunan penonton musisi jalanan itu tak lagi menarik untuknya. Ia lebih tertarik untuk mengamati ekspresi wajah Bram.
Bram tersenyum kecil. Namun, hal itu tak sedikitpun melunturkan topeng keseriusan yang tengah ia gunakan.
"Sebagai putri sulung dan harapan terbesar keluarga, tidak mungkin Sasmita menunjukkan ketakutan dan kerapuhannya di depan Bu Anggi, bukan?"
Meski samar, namun ada perubahan pada sorot mata Anggi. Dan Bram bisa menangkapnya dengan mudah kendati Anggi berupaya untuk tetap kelihatan tenang.
"Mungkin, Bu Anggi berpikir bahwa Sasmita akan baik-baik saja dan mampu melindungi dirinya sendiri. Namun, Bu Anggi juga harus tahu bahwa Sasmita adalah anak perempuan biasa. Dia juga bisa merasa takut. Dia juga bisa menjadi sangat rapuh. Kalau saja dia bisa mengakuinya, dia sangat butuh tempat untuk berlindung dan bersandar agar bisa kembali kuat. Sayangnya, dia memilih untuk tetap diam dan terlihat baik-baik saja agar Mama dan adiknya tidak perlu merasa khawatir."
"Tahu apa kamu tentang putri saya? Kalian belum mengenal lama. Tidak ada yang bisa menjamin kata-katamu barusan benar atau tidak," balas Anggi, yang tak mau semudah itu mempercayai apa yang Bram sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]
RomanceKetika nominal empat miliar rupiah membuatmu mempermainkan kesakralan sebuah pernikahan. Ketika nominal empat miliar rupiah membuatmu rela kehilangan kehormatan demi mendapatkan hak yang sudah sepatutnya kamu dapatkan. Ketika nominal empat miliar ru...