:: Bab XVI ::

339 32 0
                                    

"Pah...?"

Mita menampakkan kebingungan yang begitu jelas di raut wajahnya. Ia mencoba menilik satu persatu wajah orang di sekitarnya, untuk tahu bahwa bukan hanya dirinya yang kebingungan.

Sayangnya, ekspresi yang ditunjukkan oleh ketiga orang di sampingnya tampak datar. Mita tak bisa membaca ekspresi wajah mereka dengan jelas.

Terlebih lagi Putra Adiswara yang kali ini mengedikkan bahu. Senyum anehnya belum luntur.

"Kenapa tidak? Lagipula, kamu sudah 27 tahun, kan, Mita? Papa rasa, dengan umur segitu, kamu sudah cukup siap untuk menikah."

Kerutan di kening Mita semakin dalam. Ia tak tahu bagaimana bisa Papanya memikirkan ide gila seperti itu.

"Pah, kita sedang membahas pekerjaan sekarang. Kenapa tiba-tiba membahas—"

"Mita, kamu tidak tahu bagaimana khawatirnya seorang Ayah melihat putrinya berjuang seorang diri. Kamu tahu Papa selama ini jauh dari kamu. Papa hanya ingin kamu dijaga dan dilindungi dengan baik oleh seseorang yang bisa dipercaya. Dan Papa rasa, Bramasta tepat untuk itu."

"Papa lupa dengan apa yang pernah Bram lakukan? Dia hampir mencelakai Papa. Bagaimana bisa Papa mempercayai orang yang pernah mencelakai Papa untuk menjagaku?"

"Itu, kan, sudah berlalu, Mita. Bramasta itu sudah berubah. Dia sudah membuat komitmen kalau dia akan bekerja dan mengabdi pada Papa. Kamu tidak perlu secemas itu."

"Pah, tetap saja. Itu tidak mengubah fakta bahwa Bram pernah hampir mencelakai Papa atau bahkan sedang menggunakan kepercayaan Papa ini untuk diam-diam mencelakai Papa dari belakang."

Mita berusaha menyadarkan Putra dari pikiran yang menurutnya tak waras itu. Ia masih mengingat dengan jelas ancaman yang Bram berikan padanya di hari pertama mereka bekerja. Ia tak mau, apa yang pria itu katakan benar-benar kejadian.

Sayangnya, hanya kekehan geli yang Mita dapatkan.

"Kalau dia memang begitu, maka akan lebih baik kalau dia menyerah untuk mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan."

"Pah!—"

"Mita, percayalah. Bramasta tidak sejahat itu, kok. Dia tidak akan berani mencelakai Papa lagi, atau bahkan hanya untuk sekedar menyusun rencana untuk mencelakai Papa. Papa sudah menjinakkannya."

Ada detik dimana Putra mengarahkan kekehan geli yang bertransformasi menjadi tawa mengejek itu ke arah Bram. Namun, hanya sebentar lalu ia kembali memusatkan perhatian pada Mita.

"Kamu mau, ya, Papa nikahi dengan Bramasta? Dia pasti bisa menjaga dan melindungi kamu dengan baik. Percaya sama Papa."

Mita meringis, tak habis pikir. Entah benda macam apa yang membentur kepala Putra sampai dia bisa berpikir sesederhana itu. Mita merasa pria di hadapannya seperti bukan Putra Adiswara yang ia kenal.

"Mita tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini. Permisi."

Tanpa pikir panjang, Mita pun bangkit dari duduknya dengan perasaan dongkol. Ia hendak pergi, namun, Bram tiba-tiba saja meraih pergelangan tangannya. Menahannya untuk tidak pergi.

Mita melirik Bram untuk beberapa saat. Sejurus kemudian menghempaskan tangan pria itu dengan kasar.

"Kita tidak sedekat itu sampai kamu bisa menyentuh saya seperti ini." Mita pun meninggalkan gazebo dengan langkah cepat.

Putra Adiswara tak berniat mengejar. Hanya pandangannya yang mengikuti kemana Mita pergi, hingga akhirnya gadis itu hilang dari pandangannya.

"Ini yang kamu inginkan, kan, Bramasta?"

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang