Menghela napas dengan berat, matanya yang berhias keriput memandangi daun maple yang berguguran. Mengotori pekarangan namun memberi pemandangan indah di saat bersamaan.
"Juan tahu, mungkin Papa tidak mau mengungkit kejadian itu lagi. Tapi, kami di sini butuh bantuan Papa. Papa tahu, kan, banyak orang yang kehilangan nyawanya secara tidak adil dan tidak manusiawi karena kejadian itu? Termasuk Kak Erie..."
Suara sang putra yang tengah menjelaskan terdengar begitu putus asa. Sambungan telfon itu membangkitkan memori kelam yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
"Orang yang terbukti bersalah harus bertanggung jawab, Pah. Apa Papa mau membiarkan orang yang bersalah itu terus berkeliaran? Sedangkan Papa yang ikut terseret padahal tidak bersalah, harus terus mengasingkan diri seperti ini."
Otaknya mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut sang putra. Menimbang berbagai hal dari segala sisi sebelum mencapai keputusan final.
"Mita dan suaminya yang memulai pengusutan ulang kejadian ini, Pah. Jadi, Papa tidak perlu khawatir tentang apapun. Papa pasti akan aman."
"Mita? Dan suaminya?" Pria paruh baya itu menyebut kembali nama yang sama. Tangannya bergerak menaikkan kacamata yang longsor dari tulang hidung.
"Hm," deham Juan, membenarkan. "Suaminya Mita... adalah mantan calon suami Kak Erie, Pah. Dia bersikeras mengusut kejadian ini demi Kak Erie."
"A-apa? Bagaimana bisa?"
"Ceritanya panjang. Yang jelas, Mita sudah mengorbankan banyak hal, termasuk merelakan kemungkinan bahwa Om Putra bisa saja dihukum, demi mendapatkan keadilan untuk seluruh korban kejadian itu. Dia se-pasrah itu karena terkurung rasa bersalah."
Terdengar tarikan napas dari sebrang telfon, "Kalau Papa takut, ada Juan di sini, Pah. Papa bisa cerita dulu ke Juan, tentang apa yang sebenarnya terjadi dibalik kejadian kebakaran itu. Juan akan mendengarkan Papa dan membantu menyampaikannya ke Mita dan suaminya."
Kini, berganti dirinya yang menarik napas. Tarikan napasnya panjang, begitu rakus demi mengisi rongga dada yang sesak.
Semakin lama ia berpikir, semakin kuat ketakutan itu membelenggu dirinya. Dipadu rasa bersalah tiap kali mengingat puluhan jenazah yang hancur berantakan bagaikan busa bantal yang dikoyak, matanya memunculkan getaran cemas.
Beruntung, sebuah sentuhan datang menghampiri lengannya. Menetralisir perasaan yang bercampur aduk di dalam benak yang hampir membuatnya hilang akal.
"Percayalah, Mas Felix. Mau kamu ungkap sekarang ataupun nanti, buruh-buruh itu tidak akan bisa kembali. Namun, yang pasti, ketika kamu mengungkapkannya sekarang, kamu tidak akan membawa rasa bersalah dan ketakutan itu sampai mati. Dan di atas sana, mereka pasti akan bangga terhadap kamu. Dulu, kamu adalah orang yang mati-matian melindungi dan membela mereka. Maka, lanjutkan itu sekarang, Mas."
Nasihat sang istri melunakkan hati Felix Dewananda. Pria paruh baya itu kembali mengambil waktu untuk memikirkan segala sesuatunya matang-matang, sebelum akhirnya memejamkan mata dan mengangguk perlahan.
"Baiklah. Papa... akan ke Indonesia lusa."
...
"Papa yakin tidak ada bukti lain selain ini?"
Dana bersama Papanya, Setya Hartono tengah menikmati waktu senja yang pas untuk secangkir teh hangat dan kudapan manis. Meski begitu, pembicaraan di antara mereka tidak semanis kue-kue kering yang tersaji di hadapan mereka saat ini.
"Hanya itu. Seandainya ada lebih banyak bukti, Papa tidak mungkin bersedia menutup kasus kebakaran itu, Dana," jawab Setya, pasrah. Dengan bantuan tongkat penyangga, ia bangkit dari sofa. Beringsut menuju lemari besar yang dipenuhi banyak sekali dokumen tebal yang diikat menjadi satu sesuai perkaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]
RomanceKetika nominal empat miliar rupiah membuatmu mempermainkan kesakralan sebuah pernikahan. Ketika nominal empat miliar rupiah membuatmu rela kehilangan kehormatan demi mendapatkan hak yang sudah sepatutnya kamu dapatkan. Ketika nominal empat miliar ru...